Ketiga, talenta itu berkembang, tentu tidak hanya dalam artian demi kepentingan diri sendiri. Tidak hanya dalam kerangka perkembangan diri dan jalan hidup sendiri. Tak hanya itu! Kembangkanlah bakat dan kemampuan kita demi kepentingan yang lebih luas. Iya, demi kebaikan bersama. Di titik inilah, mungkin saja dalam diri kita mesti berkobar spirit berkecukupan. ‘Untuk kepentinganku, pada titik inilah terasa pas. Masih ada sekian banyak sesama yang lebih membutuhkan, minta diperhatikan dan dilayani. Tampaknya miris ya, bila hanya kembangkan bakat dan kesanggupan hanya demi diri sendiri.
Keempat, bahaya kemalasan diingatkan secara keras oleh si tuan kepada hamba yang ketiga yang menerima satu talenta itu. “Hai engkau, hamba yang jahat dan malas…” Hamba itu jahat karena ia masih bersiasat untuk mencari alasan untuk membenarkan dirinya dari ‘tak ada usaha.’ Ia pun malas karena tak mau dayakan otaknya untuk ‘percayakan talenta itu kepada yang lain (pengelolah uang) untuk dikembangkan.
Hamba satu talenta ini sungguh tak sanggup bekerja sama dengan yang lain demi penggandaan talenta itu. Apakah ini yang disebut ‘kredit macet yang tak berbunga dan berkembang?’ Sedih ya…
Kelima, Tuhan, sekali lagi, telah anugerahkan banyak hal agar kita bertumbuh dan berkembang! Bila kita gagal karena ‘tak setia, malas dan tak bertarung’ tentu talenta itu tak berkembang. Kita menampung ‘kredit macet’ dalam diri. Bisa saja kita bakal alami keadaan hidup penuh ironia yang dilukiskan dalam peribahasa, “Itik berenang di air, sayangnya mati kehausan” atau pun “bagai tikus bersarang di lumbung, namun mati kelaparanlah dia di situ.”
Kita miliki banyak hal dalam diri pun dalam potensi alam dan lingkungan yang nampak memang potensial, sayang kita tetaplah mandek. Yang itu-itu saja…
Mungkin kah karena ‘kemalasan’ seperti yang dihardik sang tuan kepada hamba yang menerima satu talenta itu? Sekiranya, direnungkanlah kata-kata Amsal:
“Hai pemalas, pergilah kepada semut, perhatikanlah lakunya dan jadilah bijak; biarpun tidak ada pemimpinnya, pengaturnya atau penguasanya, ia menyediakan rotinya di musim panas, dan mengumpulkan makanannya pada waktu panen. Hai pemalas, berapa lama lagi engkau berbaring? Bilakah engkau akan bangun dari tidurmu” (Amsal 6:6-9).
Keenam, Kita tak pernah hidup sendiri! Kita hidup karena dan bersama sesama yang lain. Adalah tugas dan panggilan mulia untuk memberikan kesempatan kepada sesama kita. Agar orang lain pun dapat bertumbuh dan berkembang dalam citra diri dan kehidupannya.
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel



