Sesuai asas hukum lex specialis derogate lex generali, maka beleid yang bersifat khusus akan mengesampingkan beleid yang sifatnya umum.
“Pembentukan majelis yang berbeda untuk memeriksa kembali perkara sebagaimana yang dimaksudkan Pasal 17 ayat (7) UU 48/2009 tidak mungkin dapat diterapkan di Mahkamah Konstitusi,” kata Enny.
“Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, di dalam mempertimbangkan dalil permohonan pemohon, khususnya berkenaan dengan inkonstitusionalitas norma sebagaimana yang didalilkan oleh pemohon, Mahkamah lebih menekankan dengan bertumpu pada UU MK yang bersifat khusus,” pungkasnya.
MK juga menyinggung kembali putusan Majelis Kehormatan MK (MKMK) terkait Anwar Usman, pada Pasal 358, yang pada intinya menegaskan bahwa meskipun terdapat pelanggaran etika berat, Putusan 90 sudah berkekuatan hukum tetap sesuai prosedur.
Anwar Usman tak ikut memeriksa
Dalam putusan ini, eks Ketua MK Anwar Usman tak terlibat mengadili perkara dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH), sebagaimana permintaan pemohon dan amanat putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konsitusi (MKMK) 7 November lalu.
Pemohon, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), Brahma Aryana (23), merasa perlu melayangkan gugatan itu karena Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 terbukti lahir melibatkan pelanggaran etika berat Anwar.
Dalam petitum permohonannya, Brahma meminta agar syarat usia minimum capres-cawapres berbunyi “40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah pada tingkat provinsi yakni gubernur dan/atau wakil gubernur”.
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp ChanelÂ
Â