Oleh Feiral Rizky Batubara★
infopertama.com – Selama bertahun-tahun, masyarakat di wilayah timur Indonesia, dari Maluku hingga Papua, hidup dalam ketergantungan terhadap Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD). Padahal, wilayah ini menyimpan potensi energi bersih, energi terbarukan yang sangat besar. Ironi ini menjadi potret nyata ketimpangan energi: saat kota-kota besar di Jawa menikmati pasokan listrik 24 jam nonstop, banyak desa di Indonesia Timur masih mengalami listrik padam beberapa jam setiap hari.
Ketergantungan pada PLTD tidak hanya membuat listrik menjadi mahal dan tidak andal, tetapi juga menyumbang emisi karbon dalam jumlah besar. Biaya pokok penyediaan listrik di wilayah non-interkoneksi bisa mencapai Rp2.500 hingga Rp3.000 per kWh-tiga kali lipat dibandingkan di Jawa. Beban subsidi pun meningkat, menyulitkan negara untuk mengalihkan dana ke investasi energi masa depan yang lebih bersih dan efisien.
Namun sebuah babak baru telah dimulai. Melalui Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034, PLN memulai transisi besar-besaran: mengakhiri era PLTD secara bertahap dan menggantinya dengan pembangkit berbasis energi baru terbarukan dan gas alam. Langkah ini tidak hanya soal efisiensi operasional, melainkan upaya menghadirkan keadilan energi di wilayah yang selama ini tertinggal dari sisi infrastruktur kelistrikan.
Salah satu strategi utama yang diadopsi adalah konsep distribusi LNG model milk run, yaitu pendekatan logistik di mana satu kapal LNG kecil mendistribusikan gas ke beberapa lokasi sekaligus dalam satu perjalanan terjadwal. Cara ini berbeda dari model distribusi satu kapal satu tujuan yang mahal dan tidak efisien.
Dengan kapal berkapasitas antara 4.000 hingga 7.500 meter kubik, LNG diangkut dari terminal utama dan disalurkan ke berbagai pulau. Di setiap titik, LNG disimpan dalam tangki ISO dan diregasifikasi menggunakan sistem modular yang sederhana namun efektif.
Model ini menjawab tantangan geografis Indonesia dengan efisien. Tanpa perlu infrastruktur besar dan mahal, pulau-pulau kecil yang dulu bergantung pada solar kini dapat menerima pasokan gas secara berkelanjutan.
Hasilnya bukan hanya pasokan yang lebih stabil, tetapi juga pengurangan emisi karbon hingga 30 persen dan efisiensi biaya energi mencapai 40 persen. Dalam RUPTL, strategi ini bahkan diperkirakan dapat mengurangi kebutuhan LNG nasional sebesar 698 BBTUD-setara 87 kargo LNG skala besar dalam setahun.
Transformasi ini membawa dampak langsung ke masyarakat. Sekolah malam tidak lagi bergelap-gelapan, puskesmas desa bisa menyimpan vaksin tanpa takut rusak, dan usaha kecil seperti penggilingan padi atau warung makan bisa beroperasi lebih lama. Bagi daerah yang selama ini hanya menikmati listrik beberapa jam sehari, ini adalah perubahan yang nyata dan bermakna.
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel