infopertama.com – Di tengah fluktuasi harga komoditas tambang, PT United Tractors Tbk (UNTR) mulai memperluas pijakan bisnis ke sektor energi hijau.
Perusahaan yang identik dengan alat berat dan kontraktor tambang ini kini menyiapkan serangkaian proyek energi terbarukan yang diyakini bisa menjadi sumber pendapatan jangka panjang.
Dalam materi paparan publik, manajemen UNTR menegaskan bahwa transisi energi menjadi salah satu aspirasi keberlanjutan dalam lima tahun ke depan.
Fokus diarahkan pada pembangkit listrik tenaga air (PLTA), panas bumi, solar photovoltaic (solar PV), hingga proyek pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa).
Melalui anak usaha PT Energia Prima Nusantara, UNTR menambah kepemilikan saham di Supreme Energy Sriwijaya (SES) menjadi 80,2 persen pada Juni 2025. SES memiliki 25,2 persen saham di Supreme Energy Rantau Dedap (SERD), proyek panas bumi berkapasitas 91,2 MW yang sudah beroperasi di Sumatera Selatan.
Dengan akuisisi ini, total kepemilikan langsung dan tidak langsung UNTR di SERD menjadi 40,4 persen.
Selain panas bumi, UNTR juga menggandeng PT Arkora Hydro Tbk yang kini 31,49 persen sahamnya dimiliki perusahaan.
Arkora telah mengoperasikan tiga PLTA dengan total kapasitas 27,4 MW, ditambah satu PLTA berkapasitas 5,4 MW yang dijadwalkan mulai beroperasi komersial pada 2025.
Perseroan juga mulai masuk ke bisnis rooftop solar PV untuk segmen business-to-business. Kapasitas terpasang solar PV yang dikelola UNTR telah mencapai 30,2 MWp, dengan tambahan 5 MWp dalam tahap pembangunan.
Tak berhenti di situ, UNTR mendirikan PT Jabar Environmental Solutions bersama Sumitomo Corporation dan Kanadevia Corporation. Perusahaan patungan ini akan membangun fasilitas pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) di Legok Nangka, Jawa Barat.
Proyek tersebut dirancang dengan kapasitas penanganan limbah 2.000 ton per hari, sekaligus menjadi bagian dari solusi energi ramah lingkungan di Tanah Air.
Diversifikasi ke sektor energi terbarukan ini menjadi langkah penting bagi UNTR untuk menjaga ketahanan bisnis di luar tambang batubara.
Seperti diketahui, pendapatan perseroan masih didominasi segmen kontraktor tambang dan penjualan batubara. Namun, harga komoditas yang fluktuatif membuat strategi diversifikasi kian mendesak.
Dengan kapitalisasi pasar Rp78 triliun per Juni 2025, UNTR menilai investasi di sektor energi hijau dapat memperkuat portofolio sekaligus mendukung agenda transisi energi nasional.
Penolakan Geothermal di Flores: Sebuah Kontras yang Tajam
Di Pulau Flores, sejumlah umat dan tokoh Gereja bahkan berdiri di garis depan menolak proyek geothermal (panas bumi), seperti PLTP Ulumbu dan proyek serupa di Wae Sano. Alasan mereka jelas: proyek ini mengancam wilayah adat, sumber air, dan ketenangan spiritual masyarakat lokal. Mereka menuntut pendekatan yang lebih manusiawi dan kontekstual terhadap transisi energi.
Ironisnya, ketika umat Katolik di Flores mempertaruhkan relasi sosial dan ekologis untuk melindungi tanah mereka, institusi nasional Gereja melalui DPKWI justru menyimpan investasi besar di perusahaan batubara—simbol paling jelas dari energi kotor.
Bagaimana mungkin Gereja bersuara lantang menolak satu jenis energi (meski terbarukan) karena dianggap tidak adil, tapi justru diam saat uangnya menyokong energi yang lebih merusak dan penuh jejak pelanggaran HAM?
Gereja Bicara Ekologi, Tapi Investasi di Batubara?
Paus Fransiskus dalam Laudato Si’ (2015) menegaskan bahwa krisis iklim adalah krisis moral dan spiritual. Ia menyerukan pertobatan ekologis—meninggalkan ketergantungan pada energi fosil demi keadilan antargenerasi dan martabat manusia. Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) pun menyambut seruan itu, mendorong perlindungan lingkungan dan menolak proyek-proyek merusak seperti PLTU batubara.
Namun, di tengah narasi profetis itu, sebuah kenyataan pahit terungkap: Dana Pensiun KWI (DPKWI) [Mgr Silvester San sebagai ketua badan Perwakilan Pendiri] ternyata menanamkan investasi dalam saham perusahaan batubara, termasuk Adaro Energy Tbk dan Indo Tambangraya Megah Tbk.
Hipokrisi Ekologis?
Laporan resmi DPKWI per 31 Desember 2021 yang dipublikasikan di situs resminya, menunjukkan adanya kepemilikan 6 juta lebih saham Adaro Energy, senilai lebih dari Rp14 miliar.
Investasi di emiten tambang lain seperti Antam, United Tractors, dan ITMG. Dan, nilai pasar total investasi di sektor ekstraktif mencapai puluhan miliar rupiah.
Ini bukan sekadar masalah teknis keuangan. Ini adalah konflik moral mendalam. Bagaimana mungkin Gereja menolak PLTU batubara karena merusak lingkungan dan memiskinkan rakyat, tetapi di saat yang sama mengambil keuntungan dari perusahaan yang membangun dan menyuplai PLTU?
Doa, Tapi Juga Dividen?
Umat berdoa bagi bumi. Para uskup bersuara menentang krisis iklim. Tapi dana pensiun para imam dan karyawan gereja mengalir dari dividen batubara? Ini bukan saja tidak etis, tetapi melukai hati umat dan publik yang memercayai integritas moral Gereja.
Alih-alih menjadi saksi keadilan ekologis, investasi seperti ini menempatkan Gereja di sisi yang sama dengan para perusak bumi. Dan celakanya, semua ini terjadi secara diam-diam, nyaris tanpa akuntabilitas ke umat.
Gereja Katolik tak bisa berdalih tidak tahu. Laudato Si’ dengan gamblang menyatakan:
> “Masalah energi menjadi salah satu tantangan utama yang dihadapi umat manusia. Sangat mendesak pengembangan kebijakan agar energi berasal dari sumber yang dapat diperbarui.”
Bahkan dalam Laudate Deum (2023), Paus Fransiskus menyindir negara dan institusi yang berbicara soal iklim, tapi tetap menanam modal di energi kotor.
Kalau Gereja Indonesia ikut-ikutan model investasi rakus seperti itu, untuk apa lagi kita berkhotbah tentang pertobatan ekologis?
Konsistensi moral bukan pilihan—itu keharusan. Jika KWI benar-benar mau menjadi suara kenabian di tengah krisis iklim.
Gereja yang Mau Didengar Harus Memberi Teladan
Moralitas Gereja diuji bukan di mimbar, tetapi dalam keputusan konkret seperti ini. Dunia tidak butuh Gereja yang pandai bicara tapi diam saat uangnya kotor. Dunia butuh Gereja yang berani mencuci tangannya dari uang yang membakar bumi.
Jika KWI tidak segera mengambil tindakan, maka umat dan publik berhak bertanya:
> Apakah Gereja masih berpihak pada kehidupan, atau telah terseret dalam pasar yang membunuhnya?
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel