sekilas “Di doa ibuku, namaku disebut”
“Dia, yang tidak memiliki gereja sebagai ibunya, tidak memiliki Tuhan sebagai ayahnya”
(St Agustinus, Uskup dari Hippo, 354 – 430)
P. Kons Beo, SVD
Oktober penuh harapan
Oktober sudah tiba. Bulan yang dihubungkan dengan dengan devosi popular ‘doa dan korban’ bersama Bunda Maria segera dimulai. Segala rancang program kegiatan devosi sudah diracik. Umat Allah sudah pada tak sabar menuju Tuhan dalam ziarah bersama Sang Bunda. Per Mariam ad Iesum, mesti dinyatakan.
Melalui Maria menuju Yesus adalah kiat demi membawa segala rasa hati, suka dan duka dan iman dalam cahaya segala kisah yang dialami Bunda Maria, sebagai Ibunda Sang Penebus. Tak ada niat hati apalagi jika hendak ekspresikan nota iman untuk tempatkan Bunda Maria sebagai ‘pengantara atau penyelamat bayangan’ di samping Yesus, satu-satunya Pengantara dan Penyelamat.
Tapi sudahlah! De Maria numquam satis,’ tentang Maria tak pernah cukup’ untuk direnungkan, dialami dan dirasakan. Tak ada maksud ekstra mewah untuk mengusung Maria dalam parade atau festival heboh yang terkesan ‘membesar-besarkan’ devosi dan peran Bunda Maria dalam tata keselamatan.
Tetapi juga, tak boleh terlalu untuk sungguh meminggirkan pengaruh sang Bunda dalam kehadiran Yesus, sang Anak Allah. Sebab toh minimalisme teramat sangat pada sosok Bunda Maria, tak akan pernah membatalkan kenyataan: Dialah ibu ‘yang mengandung dan melahirkan Yesus, Anak Allah yang mahatinggi’ (cf Luk 1:31-32).
Bunda Penuh Kasih
Di bulan Oktober, ziarah iman-harapan- kasih Gereja menuju Tuhan disegarkan kembali dalam doa bersama Bunda Maria. Kita rindukan dekapan kasih seorang ibu yang meneguhkan dan membesarkan hati. Seorang ibu yang peduli akan apa setiap kita alami. Terutama dalam segala kekurangan, ketidakhebatan serta aneka kekhiafan di hidup ini.
Di hari-hari ini, rumah keluarga kita bakal dikunjungi saudara-saudari seiman. Dipertautan dalam doa rosario bersama. Rumah keluarga tentu menjadi tanda nyata kehadiran Gereja yang berziarah bersama Bunda Maria. Bersyukurlah bahwa rumah keluarga didatangi dan dipenuhi dengan aura kasih dan sukacita. Pun di situlah semakin meneballah keyakinan: Kita tak pernah berjalan sendiri.
Tetapi, mari ringankan hati kita pula untuk melangkah dalam iman menuju rumah saudara-saudari seiman. Tak ada hadiah yang istimewa buat ‘tetangga di sebelah dan di sekitar rumah kita selain kehadiran dan doa-doa kita. Jangan ‘pegang dan sembunyikan rahmat sukacita hanya untuk diri sendiri, tetapi berbagi-bagilah dengan sesama-sesama kita.
Hari penuh ceriah
Kunjungan Maria ke Elizabet, sanaknya, sambil membawa kanak Yesus dalam rahimnya, adalah inspirasi bahwa kita selalu hadir untuk membawa ‘inti dari warta keselamatan, pengharapan dan Firman yang menjadi manusia’. Mungkin kah Anda masih merawat dendam pada tetangga, atau orang tertentu dalam Kelompok? Dan Anda menjadi berat hati dalam amarah yang terlilit dalam benang kusut tak tentu rasa? Segera sudahilah semuanya….
Di bulan Maria ini, bebaskan semua kesumpekan di dalam dada. Semua yang jadi perintang kita untuk ‘saling berkunjung dan saling menyapa di dalam kasih persaudaraan. Maria, Bunda kita, Ratu Pencinta Damai, mendoakan kita agar kembali miliki kebesaran jiwa dan rasa ringan di hati untuk ‘saling mendoakan dan saling memberkati.’
Ibu kita semua: Dalam kemanusiaan..
Bayangkan saja bahwa di malam ‘Rosario umat,’ ada kaum religius yang sejenak tinggalkan indahnya doa Completorium malam di zona sendiri untuk bergabung teduh dalam doa kelompok umat dalam resitasi Rosario. Apalagi bila ada kehadiran ‘kagetan’ para klerus untuk bersama umat. Suatu kehadiran penuh berkat yang meneguhkan. Mari lanjut merenung…..
Dalam lantunan Doa Salam Maria, kita tetap mohon doa dengan perantaraan sang Bunda. “Doakanlah kami yang berdosa ini…” Itulah seruan setiap kita yang sungguh manusiawi, dalam satu pengakuan yang tulus. Adakah manusia yang tak terkepung dan bebas terhirup dari asap dosa dan kekurangan?
Kita bersama-sama mohon dalam kerinduan dan kerendahan hati: Ora pro nobis peccatoribus…. Doakanlah kami yang selalu letih dan tanpa daya untuk mudah tenggelam di dalam suram dan nista. Sebenarnya terasa berat memang untuk ucapkan “Doakanlah kami yang berdosa ini…” bagi yang merasa diri tetap dan selalu ‘suci lahir dan di dalam batin.’
Demikian pun seruan kepada sang Bunda untuk doakan setiap kita hingga pada ‘saat maut yang tak terelakan itu datang menjemput.’ Akhir hidup, iya kematian itu, adalah ‘kisah manusiawi’ kita yang tak terelakan. “Berdosa” dan “kematian” adalah ‘jalan pasti dan nasib setiap kita yang tak terhindarkan. Namun, tidak kah kita diteguhkan akan harapan keabadian, di kala dalam suara kita terucap: “Doakanlah kami yang berdosa ini; sekarang dan pada waktu kami mati….”?
Kita tentu merindukan kehadiran sang Bunda, yang menemani kita di setiap kisah-kisah hidup kita! Jika tapak hidup kita terasa berat dan nyaris tanpa asa, tidakkah episode mater dolorosa, bunda berdukacita, yang bertahan hingga kaki salib tetap menjadi ‘tuntunan tangan penuh kasih?’ Bahwa di kaki salib tetap tertangkap suara kasih, “Ibu, inilah anakmu!”……dan kepada sang anak, “Inilah ibumu” (Yoh 19:26-27).
Jalan Devosi vs Jalan Liturgi?
Di tahun kemarin, saya sempat ke Fatima-Portugal, dan lalu terus ke Lourdes-Prancis. Terkesan ‘mewah’ dan nampak ‘overdosis devosional.’ Bagaimanapun wisata rohani tak sekedar bahwa saya ‘pernah ke tempat ini atau ke tempat itu.’ Bukan itu intinya. Dalam keramaian bersama para peziarah laiannya, tetap ada alam hening sepih. Bunda Maria tentu tahu segala yang tersembunyi di sudut hati setiap peziarah. Walau tanpa banyak kata yang terucapkan.
Namun sesungguhnya, selalu ada kesempatan bila kita berniat tulus dan lurus. Iya, bila ada kerinduan menuju keharibaan Sang Bunda. Kapan dan di mana saja. Hingga di bagian tersudut rumah kita, jika memang ada ‘ruang doa’ walau sesederhana apa adanya.
Saya sendiri tetap mengenang mama saya. Wanita sederhana, yang tergolong ‘anggota klasik’ kelompok mama-mama Santa Anna, Paroki Kathedral-Ende. Di suatu hari kubilang pada mama, “Mama, kalo pigi misa tu, tidak usah ka bawa rosario. Cukup Madah Bakti saja…” Dengan segera mamaku bilang, “Kau tahu apa? Ini yang bikin kau jadi imam,” sambil perlihatkan rosarionya yang tampak telah kusam.
Wah, terkadang segala teori dan konsep liturgi jebolan Roma, tidak pas di hati kebiasaan popular umat yang sudah ‘mendagingdarah.’ Entah apa yang harus dipertaruhkan?
Akhirnya
Bagaimanapun, saya tetap rindukan rosario kusam milik mamaku. Namun, sudah lama ia membawanya pergi di dalam peti matinya. Tetapi saya yakin di surgapun ia berdoa pada Bunda Surgawi, “Doakanlah kami yang berdosa ini.” Sungguh, di doa ibuku, namaku disebut….
Selamat berziarah bersama Bunda Maria. Di dalam kebersamaan kita sebagai anak-anaknya yang Yesus, Sang Putra Tunggal Allah sungguh kasihi.
Verbo Dei Amorem Spiranti
Collegio San Pietro – Roma
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel