Cepat, Lugas dan Berimbang

Praktisi Psikologi Jefrin Haryanto Soroti Kasus KDP Roni Guala

Seksual pada Anak Kandung
Praktisi Psikologi, Jefrin Haryanto (ist)

Ruteng, infopertama.com – Terkuaknya kasus penganiayaan serta ancaman pembunuhan oleh Gregorius Roni Guala, anggota PPK di Kab. Manggarai terhadap pasangan kekasihnya mengundang perhatian banyak pihak. Pasalnya, antara Roni Guala dan korban ini belum memiliki status yang sah, dalam artian masih berstatus pacaran. Walau hubungan mereka sudah diketahui orangtua masing-masing.

Praktisi Psikologi, Jefrin Haryanto ketika dihubungi infopertama.com menegaskan bahwa mesti ada upaya penanganan bagi pelaku kekerasan yaitu menelusuri apa yang menyebabkan pelaku melakukan kekerasan.

                    

“Apakah ada peristiwa buruk atau trauma sehingga lebih memilih menyelesaikan suatu konflik dan hal lainnya dengan kekerasan. Terutama, kekerasan yang Roni Guala lakukan sudah berulang-ulang.”

Selain itu memberikan konseling ataupun psikoterapi dari psikolog atau psikiater, kepada pelaku. Ini bertujuan agar sadar akan bahaya dampak perbuatannya, baik bagi dirinya sendiri ataupun bagi pasangannya.

Sementara, upaya penanganan bagi perempuan korban kekerasan dalam pacaran, lanjut Jefrin Haryanto dapat lakukan dengan memberikan dukungan serta menyakinkan korban untuk berani berkata tidak. Serta, menentang segala bentuk tindak kekerasan yang dilakukan oleh pasangannya. Kemudian, membantu untuk menumbuhkan rasa percaya diri.

“Untuk korban yang mengalami trauma dibutuhkan penanganan khusus oleh psikiater atau psikolog atau melalui pendampingan korban untuk tahap awal.”

Jefrin Haryanto menjelaskan, kekerasan dalam pacaran (KDP) atau dating violence adalah tindak kekerasan terhadap pasangan yang belum terikat pernikahan meliputi kekerasan fisik, emosional, ekonomi dan pembatasan aktivitas.

“Kekerasan ini merupakan kasus yang sering terjadi setelah kekerasan dalam rumah tangga. Namun masih belum begitu mendapat sorotan jika bandingkan dengan kekerasan dalam rumah tangga sehingga terkadang masih terabaikan oleh korban dan pelakunya.” Tutur alumni UGM Yogyakarta ini.

Menurutnya, kekerasan yang dilakukan Roni Guala termasuk dalam kategori Kekerasan pembatasan aktivitas. Pada kekerasan pembatasan aktivitas oleh pasangan banyak menghantui perempuan dalam berpacaran, seperti pasangan terlalu posesif, terlalu mengekang, sering menaruh curiga, selalu mengatur apapun yang dilakukan, hingga mudah marah dan suka mengancam.

Banyak perempuan yang tidak menyadari bahwa dirinya sedang terjerat dalam bentuk kekerasan pembatasan aktivitas, karena dianggap sebagai hal yang wajar sekaligus bentuk rasa peduli dan rasa sayang dari pasangan.

Berikut bentuk – bentuk kekerasan pada perempuan dalam pacaran di antaranya yaitu:

Pertama, Kekerasan fisik seperti memukul, menampar, menendang, mendorong, mencekram dengan keras pada tubuh pasangan dan serangkaian tindakan fisik yang lain.

Kedua, Kekerasan emosional atau psikologis seperti mengancam, memanggil dengan sebutan yang mempermalukan pasangan menjelek-jelekan dan lainnya.

Ketiga, Kekerasan ekonomi seperti meminta pasangan untuk mencukupi segala keperluan hidupnya seperti memanfaatkan atau menguras harta pasangan.

Keempat, Kekerasan seksual seperti memeluk, mencium, meraba hingga memaksa untuk melakukan hubungan seksual dibawah ancaman.

Kelima, Kekerasan pembatasan aktivitas oleh pasangan banyak menghantui perempuan dalam berpacaran. Seperti pasangan terlalu posesif, terlalu mengekang, sering menaruh curiga, selalu mengatur apapun yang dilakukan, hingga mudah marah dan suka mengancam.

Banyak perempuan yang tidak menyadari bahwa dirinya sedang terjerat dalam bentuk kekerasan pembatasan aktivitas. Ini karena anggapan sebagai hal yang wajar sekaligus bentuk rasa peduli dan rasa sayang dari pasangan.

Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam pacaran. Di antaranya yaitu tingkat pendidikan yang rendah, masih adanya pemahaman patriarki, kebiasaan tidak baik seperti memakai narkotika, dan minum miras. Ada juga karena bertengkar tidak bisa mengontrol emosi, perempuan menyerang lebih dulu, terjadinya perselingkuhan, dan pasangan menganggur. Juga adanya sifat temperamental, pola asuh lekas dengan kekerasan di masa kecil sehingga sering mengalami atau melihat kekerasan, tingkat kesejahteraan ekonomi, lokasi tempat tinggal di perkotaan, efek pergaulan yang akrab dengan kekerasan, efek tayangan media massa yang mengandung unsur kekerasan.

Di sisi lain, pada kasus kekerasan dalam pacaran yaitu perempuan yang menjadi korban cenderung lemah, kurang percaya diri. Dan, sangat mencintai pasangannya. Banyak pasangan yang setelah melakukan kekerasan langsung berubah signifikan menunjukkan sikap menyesal, minta maaf, dan berjanji tidak akan melakukannya lagi, serta bersikap manis pada korban. Hal ini yang membuat perempuan akan terus memaafkan dan memaklumi sikap pasangannya serta kembali menjalani hubungan pacaran seperti sebelumnya. Padahal seseorang yang pada dasarnya gemar bersikap kasar pada pasangannya, akan cenderung mengulangi hal yang sama karena merupakan kepribadian dan sikap dalam menghadapi konflik atau masalah.

Berbagai dampak yang ditimbulkan dari kekerasan dalam pacaran di antaranya yaitu terjadi gangguan kesehatan dan psikis perempuan yang menjadi korban. Perempuan korban kekerasan fisik atau seksual dalam berpacaran beresiko mengalami keluhan kesehatan 1,5 kali lebih banyak. Dampak fisik bisa berupa memar, patah tulang, dan yang paling berbahaya dapat menyebabkan kecacatan permanen. Sedangkan untuk dampak psikologis berupa sakit hati, jatuhnya harga diri, malu dan merasa hina, menyalahkan diri sendiri, ketakutan akan bayang-bayang kekerasan, bingung, cemas, tidak mempercayai diri sendiri dan orang lain, merasa bersalah, memiliki tingkat depresi yang lebih tinggi hingga munculnya keinginan untuk bunuh diri.

Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel