Sebagai tanggapan saya mengatakan bahwa yang penting saat sekarang ini ialah kita ungkapkan saja semua kemungkinan pemikiran yang bisa kita ketahui. Dan, pikiran kita terkait dengan hubungan internal antara kedua kata atau konsep itu. Oleh karena itu saya mengatakan dalam Bahasa Manggarai: “Aeh tewo ketas kali e… sebab hanya dengan cara ini kita bisa membangun filsafat bahasa Manggarai…”
Dan dalam rangka itu, “Sumbangan dite ghitu bagus… distingsi itu tadi bagus e…” Bahkan saya belum terpikir tentang distingsi itu. “belum terpikir oleh saya…” Tetapi bahkan saya juga menegaskan bahwa “Tentu kalo tungku wase, mengandaikan bahan e…” “Tetapi kalau perihal “tungku mose”, ko “tungku mane”, kan lebih abstrak toh sifatnya. Tidak mengandaikan bahan. Atau tidak mengandaikan materi dasar.
Sebagai tanggapan ase Tarsi hanya mengatakan bahwa “Lebih dalam kole hoo ge kae. Tetapi bayangan saya masih dalam konteks sesuatu yang bersifat “continue” (berkesinambungan). Karena tidak ada yang kebetulan eme tae diha Prof Leahy danong one filsafat ketuhanan. Semua dalam konteks continue atau kontingensi ko coo bahasa pasn ga.” Begitu kata Tarsis dalam Bahasa Manggarai. Lalu, dalam hati kecil saya hanya bisa berkata, bahwa apa pun itu, toh semuanya bisa rajut kembali untuk membangun sebuah bangunan teori pengetahuan, atau filsafat pengetahuan ala Manggarai. Dan hal itu sangat perlu.
Dialog Dengan Pater Flori Laot: In Illo Tempore
Nah, terkait dengan hal ini, sebenarnya pemikiran saya yang mencoba mencari hubungan atau keterkaitan antara NUNGKU dan TUNGKU, dipicu oleh sebuah dialog saya dengan Pater Flori Laot dulu di Pagal pada akhir tahun 80an, saat saya TOP di Postulan OFM Pagal. Dulu, ketika Pater Flori datang berkunjung ke Pagal, biasanya saya memberi kepada beliau panggung untuk mengajar para postulan OFM. Lalu pada saat-saat senggang saya berdialog dengan dia dan mengajukan beberapa pertanyaan menarik tentang bahasa dan budaya Manggarai. Saya melakukan hal ini, karena biasanya dari mulut beliau akan terlontar pemikiran-pemikiran yang tidak terduga dan juga sangat penting dan menarik.
Tetapi ketika saya menanyakan hal ini kepadanya, adakah hubungan yang bisa dibangun atau dibayangkan antara TUNGKU dan NUNGKU? Dia memandang saya dengan sangat serius sambil tertawa kagum. Biasanya pada saat seperti itu, ia hanya angguk-angguk kepala. Kemudian ia mengatakan, terus terang saja frater Frans (saat itu saya masih frater OFM), saya belum pernah memikirkan hal itu: Keterkaitan antara TUNGKU dan NUNGKU. Oleh karena itu dia pun bertanya balik kepada saya, sebagaimana biasanya, tetapi menurut Frater Frans sendiri bagaimana?
Menurut saya Pater, kedua kata itu (nungku dan tungku) bisa dihubungkan di dalam sebuah konstruksi filsafat Bahasa Manggarai. Lalu saya memberi penjelasan sebagai berikut. Ilmu yang kita dapat atau kita ketahui biasanya kita peroleh karena kita NUNGKU-kah Pater (dengan gaya Bahasa Indonesia ala Manggarai sedikit). Dia pun mengangguk setuju. Pelbagai macam hasil NUNGKU yang sudah kita peroleh kita sambung-sambung, atau kita TUNGKU satu sama lain, menjadi sebuah bangungan pengetahuan. Bahasa kerennya dalam Bahasa Inggris, filsafat ilmu, ya contruction of knowledge.
Aktifitas MENUNGKU (TUNGKU) hasil dari proses NUNGKU itu hanya dimungkinkan oleh karena kita manusia mampu berpikir (memiliki kemampuan berpikir), atau NUK, dan kemampuan untuk memahami, mengerti, atau IDEP dalam Bahasa Manggarainya. Aktifitas NUK dan IDEP inilah yang memungkinkan kita MENUNGKU (MENYAMBUNG, TUNGKU) semua hasil NUNGKU kita. Tanpa kemampuan atau daya NUK dan IDEP itu, kita tidak mungkin bisa MENYAMBUNG-NYAMBUNG, atau TUNGKU, semua hasil NUNGKU kita. Paling-paling ingatan kita hanya berupa ingatan episodik yang lepas-lepas saja, kalau mau memakai istilah biolog-antropolog sekelas, Merlin Donald. Tanpa kemampuan berpikir, abstraksi, koherensi, sulitlah orang Manggarai untuk belajar, lalu bergerak ke kultur mitik dan kultur teoretik alias kultur hermeneutik.
Catatan Penutup
Mendengar catatan dan penjelasan itu, pater Flori hanya mengangguk. Dan dia sangat senang mendengarkan penjelasan filosofis saya. Saya tidak lupa untuk mencatatkannya di dalam BH alias Buku Harian saya. Dan sejak saat itu, saya pun selalu memikirkan kembali tentang hal itu sampai sekarang ini. Dan baru sekarang ini saya coba membentangkannya di ruang public, semula melalui laman Facebook pribadi saya kemudian dalam web-blog pribadi saya.
Dengan cara publikasi yang ringan melalui kedua media tersebut saya berharap agar, siapa tahu ada anak muda Manggarai di kemudian hari, yang sudah belajar filsafat, dan yang pengetahuan filosofisnya jauh lebih mumpuni daripada saya, yang sudah kepala enam ini. Mungkin orang seperti itu bisa melanjutkan lagi tugas dan pekerjaan ini dengan filsafat hermeneutika yang lebih mantap dan lebih keren lagi. Muara akhirnya ialah ya demi membangun peradaban dan pemikiran filosofis Manggarai, khususnya filsafat Bahasa (philosophy of language, khususnya Manggaraian philosophy of language).
Tulisan ini sudah tayang di Blog Pribadi Penulis, Fransiskus Borgias.
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel