Cepat, Lugas dan Berimbang

Tungku dan Nungku: Posibilitas Filsafat Bahasa Manggarai

Tungku dan Nungku
Kampung Adat Wae Rebo, Manggarai. (ist)

Ketika dia menuliskan kata nungku itu, dan mengidentifikasi diri sebagai ata nungku, yaitu seseorang yang sedang dalam proses dan tahap belajar (mempelajari) sesuatu. Dan, karena itu juga ada konotasi belum banyak pengalaman juga. Karena itu ada risiko trial-and-error juga, secara tiba-tiba saya pun teringat akan sebuah dialog saya dulu dengan Pater Flori Laot, OFM di Pagal.

Dialog itu sebenarnya terkait dengan kedua kata bahasa Manggarai di atas tadi (tungku dan nungku). Tetapi sebelum saya bentangkan endapan ingatan saya akan dialog dengan Pater Flori itu, terlebih dahulu saya bentangkan isi percakapan dialogis kami tadi malam. Yang, hemat saya amat penting dan menarik dalam rangka membentuk dan membangun pemahaman filsafat bahasa Manggarai, sebuah misteri hermeneutika (sebab pada dasarnya filsafat bahasa itu adalah persoalan hermeneutika juga).

Adik Tarsis Gantura mengatakan bahwa semua ini masih dalam proses belajar: “Nungku e kae.” Tetapi saya mendorong dan membesarkan hati dia dengan mengatakan bahwa segala sesuatu justru bermula dari proses belajar itu, belajar dari titik nol. Bahkan bisa juga belajar dari titik di bawah nol. Atau dalam ungkapan yang saya pakai tadi malam sbb: Semua bermula dari nungku… Ya, memang segala sesuatu berawal dari sebuah proses belajar. Dan proses belajar pasti selalu mengandung risiko trial-and-error, ada risiko salah atau keliru (error) karena semuanya masih coba-coba (trial), yaitu bereksperimen dengan macam-macam hal (bahan dan cara pembuatan, campuran, durasi, waktu, tempat, dll).

Mengkonstruksi Hubungan Tungku agu Nungku

Kemudian saya lanjutkan percakapan itu dengan sebuah pertanyaan reflektif yang bersifat eksploratif: “Apakah kata nungku itu dalam bahasa Manggarai ada hubungannya dengan kata tungku? Untuk sedikit mempertegas substansi pertanyaan saya itu, saya lalu mengatakan bahwa, seharusnya, secara filsafat ilmu, ya pasti ada hubungan di antara kedua kata itu. Tidak mungkin tidak ada hubungan di antara keduanya. Toh perbedaan di antara kedua kata itu, terletak hanya di satu huruf awal saja, yaitu t dan n. Hanya, bagaimana persisnya hubungan itu? Itu yang harus dijelaskan dengan baik.

Masih menurut saya lagi, hubungannya dapat jelaskan secara singkat dengan dan dalam rumusan sbb. “Nungku itu hanya dimungkinkan oleh seni tungku…” Tetapi karena sedang di dalam sebuah dinamika dialog dengan seorang Tarsis, yang S1nya ialah di bidang Filsafat di STF Driyarkara Jakarta, maka saya pun bertanya dan sekaligus meminta konfirmasi tentang konstruksi pemikiran itu: “Ato bagaimana e?” Menurut saya, harusnya ada, sebab pada dasarnya hubungan itu antara lain tersirat dalam ungkapan sbb: “Tungku-tungku nuk… merajut ingatan, merajut pikiran, merajut pemikiran.”

Sebagai tanggapan terhadap pertanyaan saya itu, ase Tarsis mengatakan sebagai berikut: “Ole kae. Bisa juga dikaitkan ke sana. Hanya saja dua kata ini, tungku dan nungku, dengan dua makna yang berkesinambungan. Pemahaman saya ialah, tungku (tali) itu berarti sudah ada bahannya. Poli manga wasen ga.” Sedangkan “Eme nungku, harus mulai dari yang belum berbentuk atau belum jelas bendanya, lalu dicoba-coba dan bisa menghasilkan sesuatu.” Tetapi Tarsis merasa tidak begitu pasti dengan hal itu, dan karena itu ia mengatakan: “Aikn kole ge kae. Tombo hawi hawol dakun ho. Hahahahha.”

Upaya Konstruksi Lanjutan

Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel