Padahal yang dibutuhkan bukan kotbah yang muluk-muluk, tapi aksi nyata untuk memberdayakan masyarakat. Yang dibutuhkan rakyat adalah kebijakan praksis bukan retorika untuk mendapat dukungan politis dari rakyat. Konsekuensi dari semua ini, masyarakat yang bersangkutan menjadi masyarakat yang berkebudayaan bisu dalam menerima pendidikan dan ajaran yang ditransfer dari atas.
Masyarakat menampilkan diri sebagai “bank” yang siap menampung segala ide, persepsi, konsep, dan berbagai pikiran tanpa mengetahui dan memahami apa arti dan esensi fundamental dari setiap ide, konsep dan persepsi yang dia terim.
Mitos Sebagai Norma Baku
Satu hal lain yang menghambat jalannya pendidikan yang terarah pada pembebasan masyarakat adalah keberakaran masyarakat pada mitos-mitos.
Masyarakat melihat realitas hidup harian yang sebenarnya mengikat kebebasannya sebagai satu kebiasaan, sebagai satu tradisi yang merupakan bagian dari hidup. Sebagai satu tradisi, maka adalah tabu bila melawan apalagi mengubah struktur yang mapan.
Yang mampu dibuat adalah menghidupinya sebagai satu norma baku. Sikap yang bangun atas fakta itu adalah kepasifan. Masyarakat hanya mampu bersikap pasif, bukannya melawan atau mengubah realitas di mana mereka hidup. Mereka hanya mampu menyesuaikan diri dengan realitas yang ada. Kesadaran magis ini bercirikan dengan fatalisme. Yang menyebabkan manusia membisu, menceburkan diri ke lembah kemustahilan untuk melawan kekuasaan. Masyarakat tertindas menolak bahwa mereka memiliki masalah.
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel