Cepat, Lugas dan Berimbang

Negeri yang Menyeduh Kenangan

Oplus_131072

Aku lahir dari tanah ini. Dari lereng yang sama. Dari tangan mama yang menumbuk kopi sambil menyanyikan lagu-lagu dalam bahasa yang perlahan menghilang. Bapaku, seorang petani kopi yang tak pernah punya waktu untuk mencintai diri sendiri. Ia bilang, “Kopi ini pahit, tapi kalau kamu tahan, di ujung lidah ada manisnya.”

Mungkin ia sedang bicara soal hidup.

Setiap pagi aku mencium aroma kopi dari tungku. Tapi aku tahu, kehidupan kami bukan senikmat aromanya. Di buku geografi, kami disebut “produsen kopi unggulan Indonesia bagian timur”. Tapi dalam buku utang di warung, nama kami ditulis dengan angka merah.

Sore itu, datang tamu dari Jakarta. Ia menyebut dirinya “influencer specialty coffee.” Ia mengangkat gelas ke langit dan bilang: “This is heaven in a cup.”

Aku ingin bilang: “Surga tidak seperti ini. Di surga, orang tidak bekerja sampai punggungnya bengkok untuk harga yang ditentukan orang lain.”

Ia tersenyum, mengambil foto, lalu pergi.


Suatu malam, aku duduk dengan Mama Yohana. Ia menyeduh kopi dalam gelas bening tua. Asapnya menari-nari, mengaburkan matanya yang sembab karena usai menangis di ladang. Seekor babi merusak tanaman kopinya hari itu.

“Anak-anak muda sekarang banyak yang pergi,” katanya. “Katanya, tak ingin hidup dari kopi. Padahal kopi ini yang membuat mereka besar.”

Aku menggigit bibir. Mama benar. Kami hidup dari kopi, tapi belum tentu hidup karena kopi.

Dan begitulah, tanah kami subur, kopi kami juara dunia. Tapi kami sendiri tetap menunggu BLT dan bansos di balai desa.


Kopi Colol bukan sekadar kopi. Ia adalah sunyi yang dibungkus aroma. Ia adalah berita gembira yang tak pernah dibacakan untuk para pemiliknya.

Ketika cangkir-cangkir di luar negeri mengangkat kopi Colol, mereka mungkin tak pernah tahu: setiap tegukan adalah luka yang tak sempat disuarakan. Bahwa di balik rasa “caramel finish” itu, ada anak petani yang putus sekolah. Ada Mama yang terus menjahit mimpi di ladang yang semakin terjal.

Tapi kami tetap menyeduh. Kami tetap menyeruput. Kami tetap percaya — bahwa secangkir kopi bisa menyimpan amarah, cinta, dan diam-diam, revolusi. Karena kami tahu, sekalipun tak pernah benar-benar disesap oleh bangsa sendiri, kami akan terus menanam. Karena kopi bukan hanya minuman. Ia adalah warisan. Ia adalah perlawanan yang pahit tapi jujur.

Dan di negeri yang terlalu pandai memuji aroma, kami hanya ingin satu: diseduh, bukan hanya dipamerkan.

Malang, 17082005

Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel