Cepat, Lugas dan Berimbang

Ketaatan Hukum dan Aksi Anti Kekerasan Serta Klitih di Kalangan Pelajar DIY

Yogyakarta, infopertama.com – Ketaatan Hukum di Indonesia terus menerus diusahakan agar benar-benar menjadi perilaku bagi setiap warga negara, tidak sekedar kata-kata saja. Bagi semua, tanpa sekat. Artinya tidak ada yang kebal hukum atau memiliki keistimewaan di hadapan hukum.

Upaya itu terutama dalam memerangi tindakan kekerasan, dengan alasan atau latar belakang apapun tindakan kekerasan itu dilakukan.

Goris Sahdan, ketua Prodi Ilmu Pemerintahan STPMD “APMD” Yogyakarta menyoroti secara khusus soal Klitih di kalangan pelayar di DIY yang menjadi trend belakangan ini.

Demikian Goris Sahdan bahwa Klitih sebagai bentuk kejahatan akibat melemahnya fungsi negara dalam beberapa hal urgen.

Hal ini disampaikan Goris Sahdan dalam sebuah FGD Ketaatan Hukum dan aksi Anti kekerasan yang diselenggarakan oleh Yogyakarta Vuture Leader bekerja sama dengan Polda DIY yang berlangsung di hotel Royal Brongto, Selasa, 6 Mei 2025.

Apa itu Kekerasan

Thomas Hobbes (1588-1679 seorang filsuf Inggris mengatakan bahwa “kekerasan” merupakan bentuk alamiah dari kehidupan manusia yang cendrung “saling memangsa antara yang satu dengan yang lain atau homo homini lupus-manusia menjadi serigala bagi yang lain.

Jadi sebagaimana Thomas Hobbes, kekerasan merupakan sesuatu yang inheren dalam kehidupan manusia. Karena itu, negara (pemerintah) pada dasarnya dibentuk untuk “mencegah terjadinya kondisi natural pada manusia untuk saling memangsa antara yang satu dengan yang lain.

Dua fungsi utama negara menurut Thomas Hobbes adalah fungsi melindungi dan menyelamatkan atau fungsi power over dan fungsi power to. Fungsi perlindungan untuk mencegah terjadinya “kekerasan yang dilakukan oleh manusia yang satu terhadap manusia yang lain dan oleh yang kuat terhadap yang lemah”. Fungsi power to atau “menyelamatkan” untuk menghindari terjadinya kekerasan yang lebih luas yang dapat mengancam eksistensi negara.

Mengapa Terjadi Kekerasan?

Menurut Goris Sahdan, yang ia sampaikan dalam FGD bahwa kekerasan pada dasarnya disebabkan oleh berbagai faktor. Tetapi, pada hakekatnya “kekerasan” terjadi karena melemahnya fungsi-fungsi negara di satu sisi, dan menguatnya fungsi-fungsi non negara dalam masyarakat.

Ia mengatakan, terdapat tiga fungsi utama negara: (1) melindungi kebebasan individu dengan menegakkan hukum (J.J. Rousseau 1712-1778). Penegakan hukum menjadi perlindungan kebebasan individu, karena tidak ada kebebasan yang bertentangan dengan hukum. Ketika manusia melakukan kekerasan, pada saat yang sama dia tidak bebas dan melanggar hukum;

(2) fungsi kedua dari negara adalah menjaga ketertiban dan keamanan atau fungsi law and order. Kekerasan merupakan bentuk ancaman terhadap ketertiban dan hukum. Karena itu, dalam kasus kekerasan, dituntut adanya tindakan hukum yang tegas. Fungsi service delivery yaitu fungsi negara untuk menyediakan pelayanan publik yang paling berkualitas bagi masyarakat.

Siapa Aktor Utama Kekerasan Dalam Masyarakat?

Setidaknya, terdapat tiga aktor utama kekerasan dalam masyarakat yakni Aktor negara, Aktor Masyarakat dan Aktor Swasta atau pebisnis.

Negara kerap menjadi aktor utama “kekerasan” dalam masyarakat, misalnya melalui berbagai kebijakan yang dapat menimbulkan “konflik”.

Masyarakat juga kerap menjadi aktor utama terjadinya kekerasan dalam masyarakat. Misalnya kekerasan para mafia, bandit, preman dan sebagainya yang muncul sebagai bentuk “perlawanan terhadap” fungsi-fungsi negara yang melemah.

Kelompok pebisnis atau kalangan swasta bisa juga menjadi aktor kekerasan dalam masyarakat terkait dengan kepentingan bisnis dan relasi mereka dengan kekuasaan.

Klitih Sebagai Bentuk “Kejahatan”

Klitih hadir sebagai akibat melemahnya fungsi negara dalam; (1) melindungi kebebasan individu (Protecting); (2) menegakkan hukum dan ketertiban (law and order) dan dalam service delivery.

Service delivery terkait dengan pelayanan publik berkualitas yang disediakan oleh negara seperti pembangunan ekonomi, pendidikan, kesehatan, pertanian, keamanan, listrik, telekomunikasi dan sebagainya yang bisa dirasakan dan dinikmati oleh seluruh warga negara.

Munculnya kekerasan bernama “Klitih” merupakan implikasi dari melemahnya fungsi negara dalam service delivery, seperti kemiskinan, ketimpangan ekonomi, keterbatasan akses pendidikan, dan sebagainya yang memberi kesempatan bagi munculnya “aksi-aksi klitih yang bisa jadi merupakan naluri alamiah anak-anak dalam merespon berbagai ketimpangan fungsi negara.

Klitih Sebagai Kejahatan Jalanan di DIY

Kasus kejahatan jalanan di wilayah Yogyakarta menunjukkan tren peningkatan. Tindak kejahatan klitih yang belakangan terulang kembali terjadi di Kota Yogyakarta menjadi alarm untuk meningkatkan keamanan di Provinsi DI Yogyakarta.

Peningkatan kasus kejahatan jalanan di DI Yogyakarta terlihat dari data Polda DIY. Menurut catatan dari Polda DIY, pada 2020 terdapat 52 laporan tindak kejahatan jalanan. Angka ini meningkat menjadi 58 kasus di tahun 2021. Ragam kejahatan jalanan ini antara lain berupa pencurian, perampasan, pencopetan, tawuran, pembegalan, hingga pembacokan yang menimbulkan korban jiwa (Kompas, 22 April 2022).

Sebagai Implikasi Kejahatan Jalanan di DIY ini, Klitih menimbulkan ketakutan bagi warga untuk bepergian malam hari.

Karenanya, jelas Goris Sahdan meminjam pandangan Max Weber bahwa “Negara merupakan satu-satunya organisasi yang dapat melakukan monopoli tindakan kekerasan bagi masyarakat. Dalam kasus Klitih, negara mestinya melakukan tindakan “pemaksaan” terhadap pelaku kekerasan klitih.

Solusi Untuk Mengatasi Klitih

Mengakhiri pemaparannya, Doktor Goris Sahdan asal Cibal Barat – Manggarai ini menawarkan beberapa solusi, tetapi bukan pembangunan Manusia atau IPM. Hal itu beralasan sebab jika dilihat dari data IPD di DIY tahun 2024 sangat tinggi. Pada data tersebut, IPM DIY berada di atas rerata Nasional, Indonesia pada angka 75.02. Kecuali IPM kabupaten Gunung Kidul yang berada pada 72,14.

Untuk mengatasi klitih di DIY, menurut Goris Sahdan yakni soal tingkat ketimpangan ekonomi di DIY sangat tinggi daripada ketipangan ekonomi nasional tahun 2024.

Pada September 2024, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur menggunakan gini ratio adalah sebesar 0,381.

Selain itu, juga memperkuat integrasi sosial dalam masyarakat, supaya yang kaya membantu yang miskin dan yang miskin menghargai yang kaya.

Bagaimana melakukannya? Dengan pendidikan demokrasi dan pendidikan politik yang terus menerus kepada generasi muda.

Goris Sahdan menambahkan bahwa pelajar adalah pintu terdepan dalam menjaga imajinasi publik terkait dengan DIY sebagai kota pelajar, kota wisata, kota toleran dan kota yang nyaman bagi semua warga negara yang datang dari seluruh Indonesia dan bahkan dari seluruh dunia.

Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel 

Â