Cepat, Lugas dan Berimbang

Keluarga Besar Pocoleok Jabodetabek Gelar Aksi Tolak Proyek Geothermal di Pocoleok

Jakarta, infopertama.com – Keluarga besar Pocoleok se-Jabodetabek bersama Serikat Pemuda NTT menggelar aksi protes penolakan Geothermal di wilayah Pocoleok Manggarai NTT. Aksi protes yang berlangsung pada Rabu, 8 Maret 2023 ini langsungkan di dua titik; kementerian ESDM dan kantor pusat PLN di Jakarta.

Aksi protes di Jakarta merupakan lanjutan dari protes terus menerus oleh masyarakat Pocoleok di Manggarai. Pada Senin, 27 Februari silam masyarakat Pocoleok menolak kunjungan bupati Heri Nabit di Pocoleok, Manggarai NTT. Ihwal penolakan itu adalah kebijakan Heri Nabit pada penambahan titik eksplorasi PLTU Ulumbu di wilayah Pocoleok.

Kebijakan yang pro geothermal itu termuat dalam surat keputusan Bupati Manggarai Nomor HK/417/2022 yang terbit pada 1 Desember 2022. Maka, kehadiran Heri Nabit disambut dengan berang oleh 12 gendang masyarakat Pocoleok.

Masyarakat Pocoleok menyadari, SK Bupati Nabit bertaut pada SK Menteri ESDM Nomor: 2268 K/30/MEM/2017. Maka tak puas dengan aksi protes penolakan di Pocoleok Manggarai, masyarakat Pocoleok se-Jabdoetabek bersama Serikat Pemuda NTT membawa suara masyarakat Pocoleok ke pusat kekuasaan di Jakarta.

Tuntutan Keluarga Pocoleok

Dalam aksi yang di dua titik ini, keluarga besar Pocoleok Jabodetabek berkisar pada beberapa poin tuntutan. Di antaranya, pertama, Diaspora Pocoleok Jabodetabek bersama Serikat Pemuda NTT menolak kelanjutan proyek Geothermal di wilayah Pocoleok Manggarai NTT. Dan karenanya, menuntut Bupati Manggarai untuk mencabut SK Nomor HK/417/2022 tentang ijin survey di dua titik eksplorasi di Pocoleok.

Kedua, Merujuk pada poin Nomor Satu, Diaspora Pocoleok Jabodetabek bersama Serikat Pemuda NTT mendesak Kementerian ESDM untuk SEGERA mencabut SK Menteri ESDM Nomor: 2268 K/30/MEM/2017 tentang penetapan Pulau Flores sebagai Pulau Panas Bumu.

Ketiga, Mengeluarkan keputusan penghentian total pembangunan Geothermal di Pocoleok Manggarai dan seluruh daratan Flores NTT.

Sementara, secara spesifik di PLN, tuntutannya antara lain, Pertama, Menuntut PT PLN perlu meninjau lagi perihal MoU dengan stakeholder pengelola PLTU Ulumbu dengan menimbang Penolakan Warga Pocolek untuk membatalkan MoU yang sudah dibuat.

Kedua, PLN perlu mengkaji kembali mengenai kebutuhan listrik dasar (based load) wilayah Flores. Dalam catatan PLN sebelumnya, Ulumbu dengan kapasitas lebih dari 10 MW cukup untuk based load kebutuhan listrik Manggarai dan Flores. Dengan begitu, upaya ekspansi eksplorasi berupa penambahan titik di Pocoleok menjadi kontraproduktif; dan karenanya perlu dihentikan.

Proyek Gheotermal
Keluarga Besar Pocoleok Se-Jabodetabek Gelar Aksi Tolak proyek Gheotermal di Wilayah Pocoleok

Selain kedua komunitas ini, Lembaga Terranusa Indonesia ikut menginisiasi aksi penolakan geothermal di Pocoleok. Bahkan beberapa pendiri dan direktur eksekutif lembaga yang getol pada advokasi masyarakat dan isu Hak Asasi Manusia ikut mengkawal jalannya aksi.
Beberapa tokoh muda juga turut menghadiri aksi ini.

Engelbertus Wahyudi, salah satu tokoh muda Pocoleok mempertanyakan perluasan titik eksplorasi PLTU Ulumbu. Engel, menyebut SK Menteri ESDM yang terbit pada 2017 tentang penetapan Pulau Flores sebagai Pulau Panas Bumi harus dicabut.

“Di SK itu disebutkan untuk memaksimalkan pemenuhan kebutuhan listrik dasar (basedload). Nah, ini kan menjadi pertanyaan, sebab Ulumbu dengan potensi kapasitas 10 MW oleh PLN sendiri disebut cukup untuk kebutuhan dasar listrik. Ulumbu sudah berjalan, sudah running, lantas mengapa mesti eksplorasi ke Pocoleok yang terdiri dari 12 kampung adat?” Ujar Engel panjang lebar.

Engel menyebut, proyek geothermal sudah keluar dari tujuan untuk pemenuhan kebutuhan energi dasar. Proyek geothermal disebut Engel berkelindan dengan ekspansi pariwisata, masuknya industri di Flores. Konsekuensi lanjut dari logic pembangunan semacam itu, rakyat di sekitar titik geothermal akan dipandang sebagai ancaman permanen.

“Nah, ujungnya, rakyat sebagai ancaman tadi, akan terusir dari tanahnya sendiri. Padahal rakyat dan tanah itu adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Maka jelas geothermal adalah ancaman sebenarnya bagi masayarakat dan tanah Pocoleok,” jelas Engel.

Engel menyimpulkan, perjuangan melawan proyek geothermal Pocoleok adalah perkara perjuangan keberlangsungan hidup masyarakat dan alam Pocoleok.

Sementara, Erik Rayadi yang langsung datang dari Pocoleok Manggarai ke Jakarta menjelaskan Penolakan masyarakat Pocoleok adalah sebuah kesepakatan kolektif. “Masyarakat Pocoleok menolak kehadiran Proyek Geothermal di tanah adat Pocoleok,” kata Erik.

Kesepakatan itu, lanjut Erik, tidak muncul sekejap, tetapi merupakan buah yang semakin matang karena kesadaran masyarakat Pocoleok akan risiko tinggi kehadiran geothermal di gugusan pegunungan yang terdiri dari 12 kampung adat itu.

Menurut Erik, kepulangan beberapa tokoh muda di Pocoleok memberi kesadaran pada masyarakat akan risiko besar yang akan terjadi jika proyek geothermal dijalankan. Bahkan generasi muda Pocoleok melakukan studi ke wilayah gagal proyek geothermal Mataloko di kabupaten Ngada, NTT.

“Jadi kita juga, anak-anak muda Pocoleok di sana, melakukan kajian tentang dampak dan risiko proyek geothermal ini. Di Mataloko kita disajikan kehancuran akibat geothermal,” jelas Erik merujuk pada gagalnya proyek geothermal di Mataloko itu.

Sementara, Fabianus Siprin, salah satu tetua masyarakat Pocoelok di Jabodetabek mengharapkan agar pemerintah pusat, dalam hal ini kementerian ESDM segera mencabut SK yang menetapkan Pulau Flores sebagai Pulau Panas Bumi.

“Kita berharap tuntutan kita didengar dan dilakukan pencabutan SK 2017 itu,” jelas Fabianus yang akrab disapa Babe ini.

Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel