Data kunjungan kepada lembaga YMP terkait dengan anak meningkat 70% jika bandingkan bulan yang sama 3 tahun lalu.
Kekerasan yang anak alami dari kekerasan non verbal-verbal, penelantaran, perebutan hak asuh anak, keretakan keluarga. Kemudian kekerasan fisik, kekerasan seksual, pelecehan, penolakan, incest. Selain itu juga kekerasan oleh guru, kekerasan oleh orang tua tiri, kekerasan oleh tokoh agama, tokoh masyarakat, dan lain-lain.
Artinya, ada soal yang serius dengan situasi sosial kita, tetapi berjalan dalam diam karena masih dianggap sebagai urusan privat/domestic. Banyak kasus yang penyelesaiannya dalam diam.
Demikian, Albina menegaskan bahwa YMP sendiri dalam banyak pernyataan sudah memberikan catatan serius soal ini.
“Kasus kekerasan pada anak/kasus bunuh diri pada anak, memperlihatkan suasana psikologis masyarakat yang sedang ‘bopeng’. Dan, butuh kerja ekstra mengurai soal ini.” Demikian, Albina.
Salah Kaprah Penanganan Kasus Perempuan dan Anak
Studi yang YMP lakukan memperlihatkan ada ceruk yang sangat dalam yang mengambarkan lemahnya pengetahuan pola pengasuhan pada masyarakat kita. Klusternya ada di mana-mana. Di rumah, sekolah, kantor, lingkungan bermain.
Bagi Albina, pendekatan terhadap masalah anak tidak akan selesai dengan selebrasi perayaan yang sifatnya leapservice, memberi hadiah. Atau apa pun tanpa mengetahui konstruksi psikologi dan sosialnya secara rinci.
Pola penanganan kasus Perempuan dan Anak prespektifnya pada pelaku. Memenjarakan pelaku seolah-olah masalah selesai.
Kita lupa ada korban yang lebih penting untuk segera kita tangani dan selamatkan hidupnya. Denda dan penjara mungkin akan memuaskan orang tua dan keluarga tapi tidak akan menyembuhkan korban.
Masalah kita ada di rumah.
Jadi yang harus ditreatmen adalah rumahnya. Rumah itu pabrik, dan anak itu hasil pabrikannya. Program kita seringkali kali didesain langsung ke anak, dan melupakan sumbernya.
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel