infopertama.com – Di atas meja marmer gedung pertemuan berpendingin ruangan, tertata rapi botol-botol air mineral bermerek asing, kotak makan siang dari katering premium, dan brosur warna-warni bertuliskan “Arah Baru Penanggulangan Kemiskinan.”
Para pejabat datang dengan mobil dinas, disambut karpet merah dan sesi foto di backdrop berlogo pemerintah dan lembaga donor.
Di ruangan itu, kata “kemiskinan” jadi topik hangat. Bukan karena mereka pernah merasakannya, tapi karena mereka membicarakannya. Mereka berdiskusi dengan penuh semangat—tentang angka statistik, program jangka menengah, kebijakan lintas sektor, dan pendekatan multi-disiplin. Microfon wireless berpindah tangan, menyuarakan retorika yang bersih, tegas, dan seringkali… kosong.
Padahal, hanya beberapa kilometer dari ruangan itu, seorang nenek merebus nasi aking. Seorang anak mengganjal perutnya dengan air putih sebelum tidur. Seorang ayah buruh bangunan berjalan kaki pulang, tak sanggup membayar ojek.
Data BPS per Maret 2024 menunjukkan tingkat kemiskinan Indonesia masih di angka 9,36%, atau sekitar 25,90 juta jiwa. Di NTT, angka kemiskinan bahkan mencapai 20,44%—lebih dari dua kali lipat rata-rata nasional. Ini bukan angka semata. Ini adalah nyawa. Wajah. Suara. Bau keringat dan tangis yang tak pernah terdengar di ruang-ruang berpendingin.
Yayasan-yayasan kemanusiaan seperti Gugah Nurani Indonesia (GNI) bekerja dari lorong sempit dan jalanan becek. Mereka membangun PAUD di pedalaman, melatih guru desa, menyediakan air bersih, bahkan menjadi saksi bagi anak-anak korban kekerasan.
Di Manggarai Timur, GNI telah membantu puluhan desa membangun sistem perlindungan anak, menghidupkan partisipasi masyarakat, dan mendampingi keluarga rentan. Tanpa sorotan kamera. Tanpa protokol. Tanpa karpet merah.
Ironisnya, banyak program “pemberdayaan” yang lahir dari PowerPoint, bukan dari lapangan. Lahir dari target serapan anggaran, bukan dari pemahaman empati. Maka tak heran bila bantuan sering salah sasaran, pelatihan sekadar menggugurkan kewajiban, dan proyek hanya bertahan sampai laporan akhir.
Kemiskinan jadi komoditas. Ia dijual di proposal, ditampilkan dalam video “before-after,” dan dipakai sebagai pembenaran politis. Tapi dalam keseharian, ia tetap diam. Tetap menyayat.
Apa yang hilang? Mungkin jawabannya adalah kehadiran. Hadir bukan hanya fisik, tapi hadir secara batin. Duduk bersama orang miskin bukan sebagai “pembina” atau “narasumber,” tetapi sebagai sesama manusia yang belajar. Menyentuh luka tanpa memotret. Mendengar cerita tanpa mencatat demi laporan. Membantu tanpa pamrih program lanjutan.
Kita terlalu sibuk memotong pita, membuat hashtag, dan mengundang media. Tapi kita lupa: kemiskinan bukan konten. Ia bukan cerita inspiratif. Ia adalah ketidakadilan yang nyata.
Jadi, saat berikutnya Anda diundang dalam seminar kemiskinan yang diadakan di hotel berbintang, tanyakan:
Apakah gedung ini punya tangga untuk ibu pemulung?
Apakah yang kita bahas ini akan sampai ke telinga anak-anak di pelosok?
Atau, mungkinkah kita hanya sedang menata kata untuk menenangkan rasa bersalah?
Karena sebetulnya, kemiskinan tidak butuh kita bicara tentangnya. Ia butuh kita hadir bersamanya.
Dan mungkin, kritik terbaik adalah bukan mereka yang berteriak dari podium, tetapi mereka yang diam-diam membasuh luka, tanpa pernah masuk berita.
Oleh Jefrin Haryanto
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel