Oleh P. Tarsy Asmat MSF★
infopertama.com – Merenungkan kematian Paus Franiskus membawa kita menghubungkan sosoknya dengan kenyataan dunia saat ini. Dulu saya menyimak para filsuf post-modern membicarakan tentang post truth. Post truth menunjukan realita sosial atau panggung kehidupan yang semakin rumit. Fantasi yang tidak realistik menghanyutkan manusia dari kenyataan konkrit. Semakin diperkuat pula oleh cita-cita teknologi sebagai pencerah peradaban, namun justru menjadi mercusuar bagi persaingan bangsa-bangsa, peperangan, krisis kemanusian dan krisis lingkungan hidup.
Visi pencerahan teknologi dan rasionalisme Descartes menarik manusia kedalam pusaran yang semakin absurd. Teknologi sebagai medium tidaklah dalam dirinya berfungsi melainkan menjadi alat eksploitatif. Teknologi menciptakan persepsi kehidupan yang imajiner dan melupakan kenyataan konkrit dunia yang bergerak ke jurang dehumanisasi dan krisis besar lainnya.
Tentu saja Gereja Katolik bergerak dan berjibaku di dalam pusaran perkembangan peradaban seperti itu. Sehingga pertanyaannya ialah bagaimana Gereja sebagai pelaku pewarta Kabar Sukacita menampilkan injil di tengah perkembangan dunia seperti ini? Pastoral seperti apa yang diperlukan oleh Gereja pada dunia post truth?
Membaca Pastoral Paus Fransiskus
Isu-isu global seringkali memotret wajah Gereja yang tidak selalu injili (red, sukacita), ikut melesukan kreatif misioner dan daya jelajah misi. Gereja dicambuk oleh para pelaku pewarta kabar gembira sendiri dengan kasus-kasus seperti pelecehan seksual dan pola pastoral yang administratif, zona nyaman dan terkurung dalam lingkaran kekatolikan saja.
Meskipun potret seperti itu, namun Kristus tak akan tidur. Ia akan menegakan perahu dari amukan gelombang dan angin sakal, serta mengulurkan tangan-Nya kepada Petrus.
Sembulan pesona wajah Gereja Kristus tampil melalui sosok Fransiskus sebagai anak imigran Italia di Argentina. Melalui pengalaman hidup beliau yang menyentuh dengan orang-orang termarjinal, membawa kembali pastoral Gereja ke jalan-jalan Galilea, persimpangan ke Kota Samaria dan ketepi kolam Bethesda. Nah untuk itu sangat menarik sekali kita melihat kembali karya misioner Paus Fransiskus sebagai bagian dari anamnesis untuk kepergian seorang gembala Gereja Universal.
Saya membaca pastoral Paus Fransiskus seperti melihat urutan kisah penciptaan dalam Kejadian Bab I. Paus Fransiskus memulai dengan perspektif iman yang lebih membumi yaitu Lumen Fidei (2013). Di bagian awal Dokumen ini, Paus Fransiskus mengutip Injil Yohanes bahwa Kristus sebagai Terang Dunia. Iman harus menjadi menjadi cahaya. Ini adalah Prolog dasar karya pastoral kepausan beliau. Persis sekali dalam Kejadian 1: 3 Allah menciptakan lebih dulu Terang pada hari pertama. Terang itu merupakan Karunia Kristiani. Di injil Matius 5 :14, dengan jelas menuding ke arah orang Kristiani, bahwa “Kamu adalah Terang Dunia”. Maka Paus memulai karya pastoralnya dengan kesadaran diri Gereja sebagai pencerah dunia di tengah konteks yang digambarkan di atas tadi.
Setelah itu tahun 2015, Paus Fransiskus membicarakan tentang alam ciptaan, persoalan lingkungan hidup melalui Ensiklik Laudato si (Bdk. Kej 1: 4-25). Filsuf Horkheimer menyatakan “ketika lingkungan hidup rusak, maka manusia juga ikut binasa karena manusia tidak terpisahkan dari bumi habitatnya”. Karunia Terang itu terhubung langsung dengan bumi, habitat manusia yang semakin rusak. Terang Kristiani menjadi budaya tanding bagi semangat pencerahan abad modern yang berfondasi pada rasionalitas dan teknologi.
Setelah itu Paus membawa orang Kristiani pada Kisah penciptaan manusia (Kej 1 : 26). Ia menyodorkan perspektif Kristus sebagai saudara sulung manusia, Fratelli Tutti (2020). Dogma-dogma Gereja memang bersifat final, namun apa yang final itu bertemu dengan konteks yang terus berubah. Yesus yang berjumpa dengan orang-orang sakit, termarginal secara sosial, berdialog dengan tokoh-tokoh agama, mengkritisi kebijakakan pejabat sambil mendorong orang untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial menjadi model pastoral Paus Fransiskus. Paus menegaskan semua manusia adalah saudara.
Ke dalam pintu rumahnya sendiri yakni Gereja Katolik, Fransiskus mendorong Gereja lebih bersifat interdependensif, semangat sinodal dan komunitarian dari pada pola hirarkis. “Gereja harus menjadi bengkel penyembuh”, kata Paus Fransiskus. Bahkan Paus membawa Gereja kedalam perjumpaan orang samaria yang baik hati dengan melihat secara positif dan penuh cinta kepada orang lain di luar Gereja. Pola pastoral ini menantang bagi mereka yang telah membangun tembok pemisahan sosial dan diskriminatif mengatasnamakan doktrin.
Gereja harus menjadi ibu yang berbelaskasih, begitulah Paus menggambarkan Gereja-Nya. Dengan semangat Kristus mencintai manusia, ia pun membawa injil itu ke garis depan dan garis pembatas yang sering kali menjadi pemicu perendahan akan martabat manusia. Paus Fransiskus menyadari betul bahwa Allah telah menciptakan manusia secitra dengan-Nya dan Kristus memulih kembali manusia yang tercemar dosa, Dilexit Nos (2024).
Proyek kasih itu harus dimulai dari dalam Keluarga Kristiani. Dalam Anjuran Apostolik Amoris Laetitia, (2016), Fransiskus tidak hanya menyerukan melainkan menuntut sebuah perubahan habitus cinta kasih di dalam komunitas primer manusia yaitu keluarga. Ecclesia Domestica kemudian menjadi perhatian utama untuk membentuk figur Gereja dan mendorong munculnya juga panggilan religius dari keluarga-keluarga Kristiani.
Demikian pula melalui banyak kotbah dan surat beliau berurusan dengan sangat serius dengan manusia sebagai citra Allah. Tidak heran, beliau adalah oase di tengah dunia saat ini. Bagi saya, Fransiskus seperti sinter claus yang membawa hadiah, bukan materi, melainkan spiritualitas kristiani kepada dunia. Ia membawa kesederhanaan, persahabatan, cara kita mendengar dan berinteraksi, dan teristimewa cara kaum religius berpastoral dan hidup di dalam komunitas pastoran dan biara. Iman- dunia-sesama adalah kisah ciptaan yang menjadi template bawaan hidup manusia.
Dengan melihat karya-karya dan amanat pastoral beliau, saya sendiri tercengang dan sangat kagum. Sepertinya Paus Fransiskus wafat setelah pembacaan kisah ciptaan pada Vigili Paskah, lalu pergi setelah itu. Kematiannya seperti seorang lektor yang membacakan Kisah penciptaan, lalu mengatakan demikianlah Sabda Tuhan.
Setelah itu kita pendengarnya merenungkan untuk melanjutkan karya-karya beliau dalam karya misi Gereja sambil berharap sosok gembala baru dalam Gereja Katolik. Terimakasih!
★Imam Katolik asal Manggarai, kini jalankan tugas pelayanan di Banjarmasin
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel