Ruteng, infopertama.com – Jika tanah ulayat (lingko) mempunyai kekayaan bumi yang perlu dikelola dan diberdayakan secara teknologi modern melalui kegiatan geothermal untuk kesejahteraan hidup umat manusia, maka itu merupakan bagian dari penghayatan unsur kebudayaan yang universal.
Hal itu sebagaimana Va Peursen menggarisbawahi tahap-tahap kebudayaan: tahap mistis, tahap ontologi dan tahap fungsional.
Dr. Adrianus M. Nggoro, dosen Unika St. Paulus Ruteng menjelaskan bahwa mungkin masa lampau tanah lingko hanya berfungsi untuk bercocok tanam (tahap mistis/tradisional), maka di tahap fungsional (modern) tanah lingko dikelola secara teknologi modern untuk pemanfaatan geothermal.
Peradaban perubahan kebudayaan seperti itu untuk kesejahteraan hidup manusia. Untuk itu, jelas Doktor yang konsen pada Hukum Adat ini, yang perlu dipertimbangkan adalah harus terlebih dahulu melakukan studi kelayakan perubahan pengolahan lahan (tanah ulayat) agar tidak menimbulkan dampak buruk dan berisiko pada manusia dan alamnya.
Berkaitan konsep locus dalam hukum administrasi negara, relevan dengan konsep pilar tata ruang kebudayaan Manggarai (gendang, compang, wae teku, lingko) yang menampilkan wajah kesatuan holistik kebudayaan Manggarai untuk mengikat manusia dan alamnya, membangun hubungan serasi, selaras, bersahabat dan menghidupkan.
“Manusia melestarikan alam, dan alam menghidupi manusia. Dari sudut locus dan tempus Ulumbu ada dalam korelasi dengan gendang-gendang sekitarnya.” Jelas Dr. Adrianus Nggoro.
Ia mengatakan, dari sudut geopoitik, Ulumbu memiliki potensi energi panas bumi secara alamiah bereaksi secara berabad-abad dirasakan masih eksis sampai saat ini. Dan, tidak ada dampak buruk bagi manusia dan alam sekitarnya. Ulumbu selalu berhubungan dengan gendang-gendang (warga kampung).
Dari sudut geologi, topografi Ulumbu berada di dataran (bukit) dan masih jauh dari ketinggian gunung sekitarnya sebagai sumber mata air yang utama, misalnya Golo Lusang.
Keberadaan Ulumbu, kata dia, selama ini tidak berdampak pada macetnya sumber mata air di pegunungan yang lebih tinggi, karena keberadaan Ulumbu di dataran rendah (lereng/bukit). Panas bumi Ulumbu selalu tersalur dan teresap karena sifat air selalu mencari tempat yang lebih rendah.
“Oleh karena itu, jika ada kebijakan Geothermal Ulumbu menurut saya kemungkinan besar tidak berisiko semburan lumpur, karena panas bumi yang ditimbulkan oleh Ulumbu selalu tersalur ke tempat rendah.”
Beda halnya kasus Lumpur Lapindo di Sidoardjo, Jawa Timur. “Menurut saya semburan lumpur Lapindo terjadi, karena kondisi geologi, topografi tanahnya datar, dan dekat dengan permukaan air laut, sehingga penyaluran air/gas bumi tidak lancar, dan tentu berdampak pada semburan (luapan air/gas bumi).
“Dan di samping itu, Lapindo – Sidoardjo, adalah disebabkan tehnologi yang mengolah alam. Sementara di Ulumbu adalah reaksi alamiah yang berabad-abad, dan teknologi melalui kebijakan Geothermal hanya mengikuti reaksi alamiah Ulumbu.”
Ia menambahkan, berkaitan dengan pemahaman tempus dalam hukum administrasi negara relevan dengan pemahaman konsep tata ruang budaya Manggarai di bawah payung filosofi kebudayaan, gendang one lingko pe’ang. Dari segi tempus bahwa keberadaan gendang – gendang adalah berkaitan dengan waktu perjalanan sejarah keberadaan lingko (tanah ulayat) yang termasuk di dalamnya adalah lokasi Ulumbu.
Pertanyaannya, mengapa baru digalakanya rencana pembangunan Geothermal? Menurut Dr. Adrianus bahwa mungkin karena anggaran negara baru terpikirkan ke Ulumbu. Dan alasan lainnya karena selama ini masih mempelajari reaksi alamiah Ulmbu. “Dan sampai sekarang Ulumbu tetap stabil reaksi alamnya dan tidak berdampak pada lingkungan di sekitarnya.”
Sehubungan dengan itu, bahwa dalam Hukum lingkungan terkait dampak geothermal diatur oleh Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi. Undang-undang ini mengatur berbagai aspek, termasuk izin lingkungan dan perlindungan terhadap dampak negatif eksplorasi panas bumi.
Dampak lingkungan utama yang diatur meliputi pencemaran udara, air, dan tanah, serta perubahan kondisi geologi akibat pengeboran. Jika Ulumbu adalah sebuah kekayaan alam yang perlu dikelola, maka haruslah berintegrasi dengan gendang-gendang dan lingko-lingko yang lain, di daerah Manggarai.
Pada akhir penjelasannya, ia merefleksikan apakah Ulumbu membiarkan saja bereaksi secara alamiah dan hanya sebagai tempat wisata untuk untuk dilihat-lihat. Sambil menepuk dada, “aduh luar biasa Ulumbu”. Ataukah potensi Ulumbu perlu diberdayakan untuk kesejahteraan hidup umat manusia, khususnya masyarakat Manggarai, Flores.
“Negara Kuwait di Timur Tengah menjadi kaya raya karena penghasil minyak bumi. Apakah Manggarai Flores kaya raya karena gas bumi. Mari kita pelajari secara mendalam. Kapan lagi kalau bukan sekarang, siapa lagi kalau bukan kita.”
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel