Cepat, Lugas dan Berimbang

Gema Lonceng Gereja yang Kian Menyepi…

Tetapi, gema lonceng yang bertahan di lintasan waktu yang panjang, bukannya bebas tantangan. Sepertinya, dalam rentangan waktu semuanya perlahan redup tak bergetar. Umat Allah kah yang dipanggil untuk segera bergegas ke Rumah Tuhan?

Jika jumlah umat semakin tipis dan bahkan tiada, maka gema lonceng bisa ternilai tanpa tujuan, selain warna suaranya dianggap isyarakatkan suasana sakral. Tentu tak semuanya menganggapnya demikian. Beda zaman, beda juga sikap umat dan publik terhadap bunyi lonceng gereja.

Gema sakral – Panggilan ke Rumah Suci

Di tahun 70-an, waktu itu, atau bahkan sebelum-sebelumnya, mama-ku memang punya telinga yang terlatih untuk bisa dan terbiasa menangkap suara lonceng dari Kathedral Ende – Flores. Tak punya jam tangan pun tiada jam dinding, namun suara lonceng Kathedral sudah amat berarti untuk ingatkan: ‘saatnya Doa Angelus,’ atau panggilan untuk ‘misa hari Minggu.’

Namun semuanya sudah berubah! Itulah keharusan perubahan. Dentang lonceng gereja mesti berselancar menantang ‘gemuruh ombak’ knalpot dan klakson serta segala hingar bingar. Ini belum lagi bicara tentang ‘ribut-ribut di ruang batin’ yang sumpek oleh asap segala cemas dan takut di dalam hidup penuh tantangan. Tetapi, apakah sebenarnya manusia beriman sungguh merindukan gema lonceng gereja memanggil?

Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel