Efisiensi anggaran bisa berdampak pada defisiensi politik atau kekurangefektifan pemerintahan. Karena itu, perlu ada mitigasi politik.
Oleh Abd Rohim Ghazali★
infopertama.com – Politik efisiensi anggaran yang diusung oleh Presiden Prabowo Subianto memiliki potensi untuk meningkatkan stabilitas ekonomi dan kredibilitas pemerintah. Namun, tanpa mitigasi yang tepat, kebijakan ini bisa berujung pada defisiensi politik yang mengancam stabilitas pemerintahan.
Dalam upaya efisiensi anggaran, pemerintah telah mengalokasikan sumber daya ke beberapa sektor prioritas yang memiliki dampak strategis bagi pembangunan nasional. Berdasarkan data terbaru, efisiensi anggaran yang berhasil dilakukan mencapai Rp306,69 triliun dalam APBN 2025.
Dana tersebut dialihkan, pertama, untuk memenuhi program Makan Bergizi Gratis. Sebagian besar anggaran dialokasikan untuk memastikan kecukupan gizi anak-anak sekolah, dengan alokasi awal Rp71 triliun untuk menjangkau 19,47 juta penerima manfaat. Namun, guna memperluas cakupan hingga 82,9 juta penerima pada akhir 2025, diperlukan tambahan anggaran sebesar Rp100 triliun sehingga total kebutuhan anggaran untuk program ini Rp171 triliun.
Kedua, untuk penguatan pertahanan dan keamanan. Pemerintah berupaya meningkatkan investasi dalam alutsista modern, teknologi pertahanan, serta peningkatan kesejahteraan prajurit guna memperkuat kedaulatan negara.
Ketiga, untuk pengembangan infrastruktur strategis. Alokasi anggaran diarahkan pada pembangunan jalan nasional, jembatan, serta sistem transportasi berbasis digital guna mendukung pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan.
Keempat, dukungan terhadap sektor pendidikan dan kesehatan. Peningkatan fasilitas sekolah, penyediaan beasiswa bagi siswa kurang mampu, serta perbaikan infrastruktur rumah sakit dan puskesmas guna memastikan layanan kesehatan yang lebih merata.
Kelima, memperkuat ketahanan pangan dan energi. Pemerintah meningkatkan anggaran untuk sektor pertanian, perikanan, dan energi terbarukan guna memperkuat ketahanan pangan dan mengurangi ketergantungan terhadap impor energi.
Manfaat efisiensi
Adam Smith dalam bukunya yang berjudul The Wealth of Nations (1776) menekankan pentingnya efisiensi dalam pembagian kerja untuk meningkatkan produktivitas. Smith berargumen bahwa dengan membagi tugas menjadi bagian-bagian yang lebih spesifik, efisiensi dapat ditingkatkan, yang pada gilirannya meningkatkan output dan kesejahteraan ekonomi. Prinsip ini dapat diterapkan dalam konteks efisiensi anggaran, bahwa pembagian dan pengelolaan sumber daya yang tepat dapat menghasilkan hasil yang lebih optimal.
Sebagai kebijakan ekonomi, efisiensi anggaran berfungsi strategis untuk mengoptimalkan penggunaan sumber daya negara. Manfaat efisiensi anggaran ini dapat meliputi penguatan kedaulatan fiskal dengan cara mengurangi ketergantungan terhadap utang luar negeri dan meningkatkan kemandirian fiskal. Itu yang pertama.
Kedua, meningkatkan efektivitas program prioritas dengan cara memastikan anggaran digunakan untuk sektor-sektor yang memiliki dampak langsung terhadap kesejahteraan rakyat, seperti pertahanan, pangan, dan kesehatan.
Efisiensi anggaran harus dikalkulasikan secara cermat, tidak hanya mempertimbangkan aspek ekonomi, tetapi juga dampak sosial politiknya.
Ketiga, memperkuat kredibilitas pemerintahan karena efisiensi anggaran dapat menjadi instrumen politik untuk menunjukkan pemerintahan yang bersih, transparan, dan akuntabel.
Keempat, efisiensi anggaran juga bisa memperkuat stabilisasi ekonomi dengan cara mengurangi pemborosan dan mencegah potensi inflasi akibat belanja negara yang tidak terkendali.
Dampak politik
Max Weber dalam karyanya yang berjudul Economy and Society (1922) membahas konsep birokrasi rasional, bahwa efisiensi dan efektivitas dalam organisasi dicapai melalui struktur hierarkis yang jelas, pembagian kerja yang spesifik, dan aturan serta prosedur yang ditetapkan.
Weber menekankan bahwa pendekatan birokratis yang rasional dapat meningkatkan efisiensi operasional dan pengelolaan sumber daya, termasuk dalam konteks anggaran. Namun, efisiensi anggaran harus dikalkulasikan secara cermat, tidak hanya mempertimbangkan aspek ekonomi, tetapi juga dampak sosial politiknya.
Dalam hal ini ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan, antara lain, pertama, soal dukungan politik. Jika tidak dilakukan dengan cermat, pemotongan atau pengalihan anggaran bisa menimbulkan reaksi negatif dari aktor politik, termasuk parlemen dan partai koalisi yang bergabung dalam kabinet.
Kedua, resistensi birokrasi. Para birokrat yang sudah mapan dan nyaman cenderung memiliki resistensi terhadap kebijakan yang mengurangi anggaran mereka, yang bisa berujung pada kurangnya efektivitas implementasi. Pendekatan humanis (tak sekadar instruktif) diperlukan untuk mengefektifkan kebijakan efisiensi.
Ketiga, berpotensi menimbulkan turbulensi sosial. Pengurangan anggaran di sektor tertentu, terutama subsidi atau bantuan sosial, bisa memicu ketidakpuasan publik yang berdampak pada stabilitas politik. Efek jangka panjangnya bisa berimbas pada melemahnya legitimasi politik pemerintah.
Pemotongan anggaran, terutama di sektor yang dianggap vital oleh masyarakat, bisa menimbulkan protes sosial. Jika efisiensi anggaran mengarah pada kurangnya layanan publik, pemerintahan bisa dinilai gagal dalam memenuhi kebutuhan rakyat. Bahkan jika efisiensi juga mencakup pengurangan dana transfer ke daerah, hal itu tentu bisa memicu ketegangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Oleh karena itu, dampak berikutnya (keempat) adalah ketidakstabilan pemerintahan. Krisis politik yang muncul dari ketidakpuasan publik dan elite politik bisa mengancam keberlangsungan pemerintahan. Persepsi bahwa pemerintah gagal dalam mengelola ekonomi dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan Presiden Prabowo.
Isu efisiensi anggaran bisa digunakan kelompok oposisi sebagai alat untuk bukan sekadar mengkritik, tetapi juga memperlemah pemerintahan. Alih-alih memberi manfaat efisiensi, yang terjadi justru defisiensi politik.
Langkah antisipatif
Defisiensi adalah suatu kondisi yang menunjukkan adanya kekurangan. Defisiensi politik berarti kekurangefektifan yang dialami suatu lembaga politik, dalam hal ini pemerintah. Untuk menghindari dampak negatif seperti tersebut di atas, mitigasi politik perlu dilakukan agar terhindar dari defisiensi politik akibat efisiensi anggaran.
Pertama, dengan komunikasi publik yang efektif. Pemerintah harus secara transparan menjelaskan alasan dan manfaat dari kebijakan efisiensi anggaran, bukan hanya kepada jajaran birokrasi pemerintah, yang terpenting adalah kepada semua pihak yang akan terdampak kebijakan ini.
Kedua, mitigasi sosial dengan cara mengalokasikan dana kompensasi untuk sektor-sektor yang terdampak agar masyarakat tetap merasakan manfaat dari kebijakan ini.
Ketiga, membangun konsensus politik dengan melibatkan berbagai aktor politik dan birokrasi dalam perumusan kebijakan agar mendapatkan dukungan yang luas.
Keempat, evaluasi dan fleksibilitas kebijakan. Pemerintah harus siap untuk menyesuaikan kebijakan jika dampaknya mulai mengarah pada instabilitas politik. Jika kebijakan yang diambil tidak memberi manfaat, segera saja dilakukan evaluasi dan menggantinya dengan kebijakan yang lebih memberikan manfaat, terutama bagi rakyat banyak.
Terakhir (kelima) yang paling penting adalah meningkatkan efektivitas penggunaan anggaran. Di era sekarang, saat penggunaan gadget sudah hampir merata di tengah-tengah masyarakat, pemanfaatan teknologi digital merupakan keniscayaan dalam tata kelola keuangan yang lebih baik untuk memastikan setiap rupiah yang dihemat akan berkontribusi pada kesejahteraan rakyat.
Artikel ini telah tayang di kompas.id
★Senior Fellow Maarif Institute; Direktur Inisiatif Demokrasi untuk Semua (InDesa); Wakil Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat Muhammadiyah (2024-2027)
Instagram: rohimghazali
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp ChanelÂ
Â