Labuan Bajo, infopertama.com – Labuan Bajo sebagai destinasi wisata super premium nampaknya sudah mulai menggeliat lagi paska wabah Covid-19 berangsur mereda. Para wisatawan mulai berdatangan. Sekalipun wisatawan domestik masih mendominasi.
Bersamaan dengan itu sejumlah permasalahan laten masih membayangi destinasi wisata super premium itu. Di antaranya soal praktik mafia tanah yang tidak hanya meresahkan dan merugikan warga masyarakat. Akan tetapi, tidak kondusif bagi investasi pengembangan pariwisata di kawasan tersebut.
Terkait dengan praktik tersebut, pada Rabu, (25/05) kepada infopertama.com Ketua Forum Anti Mafia Tanah (ForMata), Vinsen Supriadi, meminta Satgas Anti Mafia Tanah untuk lebih serius menangani dan memberantas praktik-praktik mafia tanah di kawasan pariwisata super premium ini.
Sertifikat Hak Milik 35 KK Hilang di BPN
Menurut catatan ForMata, ungkap Supriadi, ada tiga masalah tanah yang patut diduga terkait dengan praktik mafia tanah di Labuan Bajo ini.
Pertama, masalah tanah Transmigrasi Lokal (Translok). Dari 200 Kepala Keluarga, ada 35 Kepala Keluarga (KK) Translok yang belum mendapatkan sertifikat hak milik (SHM) tanah yang disebut sebagai Lahan Usaha 1. Sementara secara fisik tanah seluas 50m x 100m/KK sudah digarap sejak tahun 1997.
“Jika 165 KK sudah mendapatkan dan memiliki SHM, maka seharusnya 35 KK juga sudah mendapatkan dan memiliki SHM. Dari informasi yang dihimpun ForMata, pihak BPN telah menerbitkan SHM untuk 35 KK ini, tetapi entah hilang kemana. Dugaan adanya praktik mafia tanah itu muncul ketika ada patok-patok di atas tanah yang telah dikuasai dan digarap oleh 35 KK. Dan, di atas tanah tersebut telah tumbuh besar pohon-pohon jati dan mahoni yang sudah warga tanam sejak tahun 1997.”
“Warga menduga ada oknum-oknum mafia tanah yang telah diam-diam menjual tanah tersebut. Hal itu mungkin terkait dengan belum dibagikannya SHM kepada 35 KK tersebut,” ungkap Supriadi.
Masalah kedua, ungkap Vinsen, adalah adanya oknum-oknum yang patut diduga sebagai mafia tanah yang diam-diam menjual tanah adat/ulayat dari Kesatuan Masyarakat Adat yang kemudian menimbulkan konflik dengan Masyarakat Adat. Yang jadi target dari oknum-oknum ini adalah tanah-tanah yang belum bersertifikat hak milik.
“Sedangkan masalah tanah ketiga adalah penjualan tanah yang berada dalam kawasan Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Wae Wu’ul. Untuk masalah yang ketiga ini sudah ditangani penyidik Polres Manggarai Barat,” jelas Supriadi.
Terkait masalah tanah di KSDA Wae Wu’ul, Polres Mabar sudah memeriksa 19 saksi dalam kasus perambahan hutan milik BKSDA di Wae Wu’ul. Para saksi ini mulai dari Kepala Desa Macang Tanggar Jamaludin, Tu’a Golo Lemes Hapi. Lalu penjual, pembeli, penghubung atau Calo. Kemudian Mantan Camat Komodo, 2 orang pegawai BPN Mabar, 2 orang pegawai dari BKSDA, dan beberapa saksi lainnya.