Cepat, Lugas dan Berimbang

Ketika Jalanan Menjadi Ruang Konsultasi Rakyat

Jefrin Haryanto

infopertama.com – Di negeri yang katanya demokratis, tidak semua orang merasa didengarkan. Lembaga-lembaga formal kadang begitu tinggi dan dingin, seolah suara rakyat harus melewati ratusan lorong birokrasi dulu sebelum boleh direspons. Maka, jalanan pun menjadi tempat yang paling jujur untuk bicara.

Dalam beberapa hari terakhir, kita menyaksikan gelombang kemarahan, kekecewaan, dan kesedihan meluap di berbagai kota. Spanduk, poster, teriakan, hingga air mata tumpah dalam satu ruang publik: jalanan.

Jalanan yang biasanya menjadi ruang lalu lintas, berubah menjadi ruang konsultasi rakyat—tempat mereka menyampaikan isi hati yang tak kunjung tertampung. Ada rasa marah, tapi juga ada cinta. Ada frustrasi, tapi juga ada harapan.

Kemarahan yang Tidak Selalu Tentang Kekerasan

Psikologi memahami bahwa kemarahan adalah bentuk emosi dasar manusia. Ia bukan selalu tanda keburukan, tapi justru bisa menjadi sinyal sehat: bahwa ada yang salah, dan harus segera diperbaiki.
Teori “Frustration-Aggression Hypothesis” menjelaskan bahwa saat individu merasa terhambat untuk mencapai tujuan atau keadilan, agresi bisa muncul sebagai bentuk respons. Tapi masyarakat kita tak selalu ingin agresi. Mereka ingin didengar.

Sebagian besar dari mereka turun ke jalan bukan untuk membuat kerusakan, tapi untuk mencari keadilan—yang sudah terlalu lama terasa jauh.

Namun, dalam hiruk pikuk itu, tak semua hadir dengan niat yang sama…

Ketika Penyusup dan Penjarah Menyabotase Suara

Dalam sejarah panjang aksi massa, kita selalu menjumpai satu masalah serius: penyusupan. Mereka datang bukan untuk memperjuangkan apa-apa, tapi membawa agenda lain—entah untuk memprovokasi kekerasan, menciptakan chaos, atau membelokkan narasi publik.

Itulah kenapa demonstrasi damai sering berubah menjadi berita buruk. Batu melayang, toko dijarah, fasilitas umum dirusak. Padahal bukan itu tujuan massa. Tapi media lebih suka menyorot api dan asap, ketimbang spanduk dan puisi.

Penjarahan adalah bentuk ekstrem dari frustrasi sosial. Tapi juga sering dilakukan oleh mereka yang tak punya afiliasi moral dengan perjuangan. Bagi para penjarah, momen chaos adalah peluang, bukan perlawanan.
Ia adalah ruang terbuka bagi jiwa-jiwa yang lelah, tapi tak ingin menyerah.

Untuk para penentu kebijakan: Dengarlah sebelum rakyat berteriak. Karena bila hati tak diberi ruang, mulut akan memecah sunyi dengan teriakan yang membekas.

Untuk para penyusup: Jangan curi panggung rakyat. Jangan ubah perjuangan menjadi kekacauan demi keuntungan pribadi.

Karena demo yang tulus adalah doa keras yang disampaikan ramai-ramai. Jangan jadikan ia kutukan.

Sang Jiwa
Untuk mereka yang masih percaya, bahwa perubahan dimulai dari keberanian menyampaikan isi hati.
Dari kacamata psikologi sosial, ini dikenal sebagai deindividuasi—kehilangan identitas pribadi dalam kerumunan, sehingga seseorang lebih mudah melakukan tindakan ekstrem karena merasa tidak akan dikenali atau bertanggung jawab.

Lalu, Apa yang Bisa Kita Lakukan?

  1. Literasi Berdemonstrasi: Kita butuh pendidikan tentang bagaimana menyuarakan aspirasi secara damai, cerdas, dan terorganisir.
  2. Kepemimpinan Gerakan: Gerakan tanpa pemimpin mudah disusupi. Harus ada sosok atau kelompok yang menjaga moral, arah, dan nilai gerakan.
  3. Respons Negara yang Dewasa: Pemerintah harus bisa membedakan antara kritik dan makar. Rakyat yang bersuara tidak perlu dibungkam, tapi dirangkul.
  4. Media yang Berimbang: Tugas media bukan hanya menjual sensasi, tapi juga menjaga narasi. Berikan panggung pada suara tulus, bukan hanya gambar rusuh.

Catatan Sang Jiwa Mengingatkan

Kadang rakyat cuma ingin didengar. Tapi ketika telinga negara tertutup, suara mereka harus mencari ruang lain—meskipun harus turun ke jalan.

Demo bukan sekadar pawai marah. Ia adalah ruang terapi kolektif, tempat luka sosial dibuka dan dibiarkan dilihat. Tapi jika dibiarkan tanpa arah, ia bisa berubah menjadi bara.

Dan ingatlah:
Jalanan bukan tempat sampah aspirasi.

Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel