infopertama.com – Semua orang dewasa pernah menjadi anak-anak. Tapi tidak semua orang dewasa mengingat dengan utuh masa kecilnya.
Sebagian lupa rasanya deg-degan saat maju ke depan kelas. Sebagian lupa betapa menegangkan ulangan matematika.
Tapi yang paling menyedihkan, banyak yang lupa rasanya bermain bebas, tertawa lepas, dan merasa cukup hanya karena menjadi diri sendiri.
Lupa akan masa kecil membuat kita, para pendidik, pembuat kebijakan, bahkan orang tua, secara tak sadar mendesain sekolah dengan logika dan selera orang dewasa.
Padahal, sekolah bukan tempat dewasa dipaksakan ke dalam tubuh kecil anak-anak. Sekolah adalah taman tumbuh: tempat anak-anak mengekspresikan rasa ingin tahu, belajar mengenal dunia—dan lebih penting lagi—belajar mengenal dirinya.
Sayangnya, di banyak tempat, sekolah masih terasa seperti ruang produksi massal. Disiplin ketat, kurikulum padat, nilai akademik dijadikan ukuran tunggal keberhasilan.
Anak-anak yang aktif dicap nakal. Yang bertanya dicurigai. Yang menyendiri dianggap bermasalah.
Padahal, penelitian neuroscience modern, seperti yang dilakukan oleh Harvard’s Center on the Developing Child, menegaskan bahwa anak belajar lebih baik ketika merasa aman, dihargai, dan punya hubungan emosional yang sehat dengan lingkungan sekolah. Rasa takut, tekanan, dan kompetisi berlebihan justru mematikan kreativitas dan menghambat perkembangan otak.
Sekolah bahagia bukan mimpi. Ia nyata. Ia mungkin. Bahkan sudah ada.
Di SDK St. Anjela, Labuan Bajo, sekolah ini menjadi contoh nyata bahwa pendidikan yang berpihak pada kebahagiaan anak bukan sekadar slogan. Bersama tim yang visioner, sekolah ini mencoba mendobrak pendekatan lama.
Di bawah pendampingan psikolog Jefrin Haryanto, sekolah ini mulai berbenah: ruang kelas dibuat lebih terbuka, guru dilatih untuk memahami psikologi perkembangan anak, dan yang terpenting—anak-anak diberi ruang untuk merasa.
Setiap pagi dimulai dengan sapaan hangat, pelukan ringan, dan tanya kabar. Anak-anak tidak hanya belajar membaca dan berhitung, tapi juga diajak memahami emosi, berteman, berempati.
Di jam pelajaran, metode tidak terpaku pada ceramah satu arah. Ada diskusi, ada permainan, ada proyek kolaboratif. Bahkan rapor mereka menyertakan catatan keunikan, bukan sekadar angka.
Guru-guru di SDK St. Anjela belajar memahami bahwa anak-anak tidak bisa diperlakukan seperti salinan karbon. Ada yang cepat menyerap informasi. Ada yang butuh waktu. Dan itu bukan soal pintar atau tidak, tapi soal perbedaan cara tumbuh.
Inspirasi serupa juga bisa kita temukan di negara-negara seperti Finlandia—di mana sekolah tanpa PR dan ujian nasional justru melahirkan murid yang paling unggul secara global. Mengapa? Karena sistemnya percaya bahwa kebahagiaan adalah pintu masuk terbaik menuju prestasi. Mereka fokus pada well-being anak terlebih dahulu, baru kemudian prestasi akademik.
Maka mari kita bertanya ulang: Sekolah kita rasanya apa?
Apakah masih terasa seperti beban atau sudah seperti rumah?
Apakah kita membentuk anak untuk jadi penghafal atau pemikir?
Apakah mereka didorong untuk jadi diri sendiri, atau sekadar mengejar ekspektasi dewasa?
Dalam dunia yang berubah begitu cepat, masa depan tidak butuh anak yang sekadar patuh. Masa depan butuh anak-anak yang bahagia, adaptif, kreatif, dan punya empati. Dan itu semua hanya bisa tumbuh dari sekolah yang punya rasa—rasa sayang, rasa ingin tahu, rasa saling percaya.
Karena sejatinya, sekolah bukan pabrik ijazah.
Ia adalah tempat di mana anak-anak kecil belajar menjadi manusia besar.
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel