Jakarta, infopertama.com – Polemik tersusunnya RUU omnibus Kesehatan telah membuat banyak lapisan masyarakat resah. Tidak terkecuali para Professor atau Guru Besar lintas bidang di Republik Indonesia.
Para guru besar menyatakan mengirimkan surat permintaan penundaan pengesahan RUU omnibus Kesehatan kepada Presiden dan Ketua MPR, serta jajarannya.
Mereka menyepakati itu seusai deklarasi Petisi Forum Guru Besar Lintas Profesi pada Senin, 10 Juli 2023, di Gedung Juang 45 Menteng Raya, Jakarta Pusat, DKI Jakarta pukul 10.00 WIB. Mereka membahas tentang pentingnya menunda pengesahan RUU omnibus Kesehatan ini yang dijadwalkan berlangsung tanggal 11 Juli 2023
Zainal Muttaqin, seorang guru besar di bidang bedah Saraf dari Universitas Dipenogoro, yang juga merupakan satu dari lima professor pakar epilepsi di Indonesia. Dia menyatakan bahwa RUU omnibus kesehatan ini telah membuat para ahli di lintas bidang resah. Hal ini, kata dia disebabkan prosesnya yang mereka simpulkan sebagai intransparan, tidak memenuhi asas keterbukaan sesuai UU no 10 thn. 2004 akan asas krusial pembuatan UU.
Selain itu, para guru besar lintas sektor ini merasa penyusunan RUU sangat tergesa-gesa. Juga, tidak memenuhi materi muatan yang berfilosofis, sosiologis, dan yuridis. Mereka menganggap bahwa selama ini UU yang masih berlaku cukup adukuat untuk dilaksanakan secara optimal. Namun, hanya kurang dari segi menyesuaikan peruntukan dan pemastian laksana.
Beberapa poin yang diajukan, pertama disebabkan hilangnya anggaran kesehatan atau yang sering disebut sebagai mandatory spending. Forum Guru Besar Lintas Profesi (FGBLP) ini menyatakan bahwa penghapusan anggaran kesehatan dari UU Kesehatan ini berseberangan dengan amanah Abuja Declaration yang dicanangkan WHO untuk segala bangsa. Juga, mendiskredit amanah TAP MPR RI X/MPR/2001 di mana 10% anggaran kesehatan dari APBN adalah sebuah amanah negara.
Menurut kajian Forum tersebut, Indonesia sejatinya di laporan WHO 2014 mengeluarkan anggaran kesehatan sebanyak Rp1.500.000,00 per kapita. Beriringan dengan anggaran tersebut, Nepal memberikan pembiayaan kurang lebih setara Rp600.000,00- per kapita, India Rp800.000,00 per kapita. Sedang Sri Lanka dan Filipina berada di angka kurang lebih Rp1.500.000,00 per kapita. Jika dikalikan dengan kebutuhan lebih dari 270 juta jiwa bangsa Indonesia, maka negara ini memerlukan setidaknya Rp155 Triliun. Yaitu setara 5% APBN pada tahunnya.
Menurut forum tersebut, hilangnya mandatory spending akan membuat pembiayaan ketahanan kesehatan dan kesejahteraan bangsa porak poranda. Terutama, pembiayaan yang sudah ada pula belum benar-benar menutupi kesejahteraan kebutuhan setiap individu anak bangsa. Apalagi, dihapusnya kewenangan OP tunggal 5 profesi bidang Rumpun Ilmu Kesehatan (RIK), menggambarkan ambisi Menteri Kesehatan dalam menjadikan KEMENKES sebagai lembaga superbody yang tidak mengindahkan asas check and balance dari para pakar di bidang tersebut.
Forum ini juga menekankan pentingnya filtrasi tenaga asing termasuk di bidang kesehatan. Salah satunya dengan kewajiban berbahasa yang satu, bahasa Indonesia, sesuai amanah Sumpah Pemuda 1928 Masehi silam. Yang mereka yakini sebagai semangat persatuan anak bangsa melawan penjajahan atas bangsa Indonesia.
Sedangkan, diakui Zainal Muttaqin, sebagai salah satu inisiator deklarasi, bahwa RUU omnibus Kesehatan ini justru menghapuskan kewajiban memiliki kemampuan dan sertifikasi berbahasa negeri ini. Yaitu, bahasa Indonesia. Kedepannya, para guru besar memprediksi akan bocornya investasi utang piutang dengan asing. Hal ini dampaknya akan dirasakan anak-anak Indonesia generasi mendatang dengan bonus demografi dan tantangan kedaulatan di tanah bangsa sendiri.
Yang lebih menyebabkan para guru besar was-was adalah implementasi proyek bioteknologi medis. Termasuk proyek genom yang mengakibatkan bahaya biosekuritas dan biodefans bangsa, sehingga ke depannya bahkan darah dan genetik bangsa Indonesia juga dapat dijajah kelebihannya dan diserang atau ditindas kekurangannya. Hal ini tentunya akan membahayakan keamanan bangsa RI secara serius.
Diyakini bahwa kurangnya transparansi dari naskah RUU yang akan disahkan serta minimnya kesempatan partisipasi publik untuk materi pemikiran berbasis buktinya diindahkan, menggambarkan kualitas perumusan RUU ini sangat berantakan dan terburu-buru. Sehingga, akan mengganggu ketahanan kesehatan bangsa.
Panitia menyatakan, saat ini jumlah guru besar yang sudah menyatakan satu suara dalam berpartisipasi dalam forum dan mengawal penundaan pengesahan RUU omnibus Kesehatan sudah mencapai 300 guru besar dari lintas sektor, tidak hanya pada Rumpun Ilmu Kesehatan. Selanjutnya, masyarakat memantau akan terjadinya penolakan besar- besaran lewat pengajuan aspirasi di kanal masing-masing terhadap proses ugal-ugalan dari RUU omnibus Kesehatan ini.
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel