Ia menjelaskan, kalau misalnya, penutur muda di suatu daerah itu bertemu, tapi tidak menggunakan bahasa daerah, berarti kondisinya mereka salah satu penyumbang musnahnya bahasa itu. “Itu yang membuat tujuh bahasa itu yang pertama kali kami sasar terlebih dahulu untuk lakukan revitalisasi.” Kata wanita asal Kalimantan ini.
Ia bercerita, pihaknya ingin menambah lagi jumlah bahasa daerah yang akan jadi fokus revitalisasi di NTT. Namun, kata dia, dananya tidak mencukupi. “Karenanya, kami tahan dulu karena ini program berkelanjutan.”

Sejauh ini, lanjutnya bahwa mulai nampak ada kesadaran dari anak-anak daerah dalam upaya revitalisasi bahasa yang memiliki tanggungjawab oenuh akan kelestarian bahasa daerah.
“Bukan melalui mulok lagi di sekolah, tetapi sudah mulai melalui menulis puisi, menulis cerpen dengan bahasa daerah. Mendongeng dengan bahasa daerah. Bertutur lisan dengan bahasa daerah, standup komedi juga dengan bahasa daerah. Semua ini ternyata membuat bahasa daerah itu menjadi lebih menarik bagi generasi muda.”
Elis menegaskan, yang paling penting generasi muda itu yang kita pertahankan. Karena dalam 10 tahun ke depan, merekalah yang memegang bahasa itu.
Faktor Berkurangnya Penutur Muda
Demikian Elis Setiati, ada beberapa faktor yang dapat memengaruhi jumlah penutur muda bahasa daerah yang kian hari kian berkurang. Beberapa di antaranya, kata Elis adalah karena adanya perpindahan atau migrasi penduduk, kemudian globalisasi, kemudian perkawinan campur dan yang berikutnya itu karena teknologi. Mungkin, anak-anak muda tidak lagi membaca bahasa daerah ketika bergadget, mereka tidak lagi mau peduli dengan bahasa daerah. Lebih cendrung berbahasa asing yang menurut mereka mungkin kelihatan lebih keren.
Pada kondisi ini, orang tua pun tidak mau berbahasa daerah. Itu yang membuat penutur muda ini berkurang.
“Kalau orang tua terus-terusan tidak mau berbahasa daerah dengan anak-anaknya, maka hilang sudah jumlah penutur muda kita dan akan automatis bahasa daerah itu akan punah,” tutur Elis.
Kondisi Vitalitas Bahasa Daerah di Indonesia
Berdasarkan kajian vitalitas terhadap 89 bahasa daerah oleh tim pengembangan dan pembinaan bahasa yang lakukan di 2.560 daerah pengamatan didapati 6 kategori. Di antaranya adalah kategori Aman, yakni, bahasa masih dipakai oleh semua anak dan semua orang dalam etnik itu. Pada kategori ini, masih ada 25 bahasa daerah.
Kategori Rentan, yaitu semua anak-anak dan generasi tua masih menggunakan bahasa daerahnya. Tetapi, jumlah penuturnya relatif sedikit, itu ada 19 bahasa.

Sementara, jika sebagian penutur, baik anak-anak, remaja maupun generasi tua tidak lagi menggunakan bahasa daerah masuk kategori atau mengalami kemundiran. Kategori ini ada 3 bahasa.
Kemudian, yang terancam punah adalah mayoritas penutur berusia 20 tahun ke atas dan genarasi tua tidak berbicara kepada anak-anak atau di antara mereka sendiri dengan bahasa daerah. Di kategori ini ada 25 bahasa.
Lalu, ada kategori kritis, yakni penuturnya hanya kelompok masyarakat berusia 40 tahun ke atas, dan jumlahnya sangat sedikit. Masih ada 6 bahasa.
Sedangkan, yang kategori punah itu karena sudah tak ada lagi penuturnya. Bahasa daerah yang punah ini ada 11 bahasa.
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp ChanelÂ
Â