Ruteng, infopertama.com — Universitas Katolik Indonesia (Unika) Santu Paulus Ruteng resmi membuka Konferensi Internasional bertema “Questioning Tourism: The Role of Catholicism in Asian Tourism” pada Rabu (17/9/2025).
Acara yang berlangsung di Aula Gedung Utama Timur (GUT) lantai 5 ini akan diselenggarakan hingga 20 September 2025.
Konferensi menghadirkan para akademisi lintas negara, pemimpin Gereja Katolik, dan pejabat pemerintah untuk mendiskusikan kaitan erat antara pariwisata, iman, dan keberlanjutan pembangunan di Asia.
Pariwisata Berbasis Iman dan Keberlanjutan
Dalam pidato pembukaannya, Rektor Unika St. Paulus Ruteng, Dr. Agustinus Manfred Habur, Lic. Theol., menekankan bahwa pariwisata seharusnya tidak hanya dipandang sebagai sektor ekonomi. Lebih dari itu, pariwisata mesti menjadi sarana pembangunan inklusif dan berkelanjutan, yang berakar pada nilai iman.
“Pariwisata, ketika berakar pada rasa hormat, iman, dan kolaborasi, dapat menjadi pemicu pertumbuhan, bukan hanya dalam ekonomi, tetapi juga dalam pendidikan, kesehatan, pertanian, dan pelestarian budaya,” ujarnya.
Katolik dan Budaya Lokal: Identitas Pariwisata Manggarai
Bupati Manggarai, Heribertus G.L. Nabit, S.E., M.A., menegaskan bahwa keunikan pariwisata Manggarai tidak hanya terletak pada lanskap alam. Ia menyebut perpaduan antara iman Katolik dan budaya lokal sebagai daya tarik otentik yang membedakan Manggarai dari daerah lain.
“Sekitar 95% dari 329 ribu penduduk Manggarai beragama Katolik. Hal ini menciptakan karakteristik unik yang bisa menjadi kekuatan dalam pemasaran pariwisata berbasis nilai-nilai budaya dan religius,” katanya.
Gereja Berperan Aktif dalam Pengembangan Pariwisata
Vikaris Jenderal Keuskupan Ruteng, Pater Sebastian Hobohana, SVD, menegaskan kesiapan Gereja untuk terlibat langsung dalam pembangunan pariwisata yang sejalan dengan misi pastoral. Ia juga mengumumkan rangkaian kegiatan Hari Pariwisata Internasional 2025 di Manggarai, termasuk festival budaya di Labuan Bajo.
“Kehadiran para peserta konferensi adalah berkat bagi kami untuk mencari perspektif baru tentang bagaimana Gereja menanggapi realitas pariwisata,” tegasnya.
Pariwisata: Peluang atau Ancaman?
Pandangan kritis datang dari Dr. Maribeth Erb, antropolog dari National University of Singapore. Ia mengingatkan bahwa pesatnya pertumbuhan pariwisata di Labuan Bajo dapat menjadi pedang bermata dua.
“Pariwisata memang membuka lapangan kerja. Namun, jika tidak dikelola dengan bijak, pariwisata bisa berubah menjadi industri ekstraktif yang merugikan masyarakat lokal. Gereja harus memastikan bahwa pariwisata tidak jatuh pada pola eksploitasi baru, seperti halnya industri tambang di masa lalu,” tegasnya.
Pendidikan Pariwisata untuk SDM Lokal
Harapan bagi lahirnya tenaga profesional di bidang pariwisata disampaikan Wakil Bupati Manggarai Timur, Tarsisius Sjukur, S.S. Ia mendorong Unika St. Paulus Ruteng membuka program studi pariwisata.
“Pariwisata adalah salah satu sektor yang dapat membawa perubahan nyata bagi masyarakat. Dengan dukungan akademik, kita bisa mengelola destinasi wisata secara profesional dan berkelanjutan,” pintahnya.
Refleksi Historis: Katolik dan Akar Pariwisata
Sesi sambutan ditutup oleh Koordinator ISAC, Dr. Michel Chambon, yang mengulas jejak historis Katolik dalam perkembangan pariwisata global. Ia mengingatkan bahwa istilah tourism berakar dari tradisi Grand Tour bangsawan Inggris abad ke-17 yang selalu menjadikan Italia dan warisan Katolik sebagai tujuan utama.
“Hubungan antara Katolik dan pariwisata tidak hanya terjadi di Eropa, tetapi juga di Asia. Hingga kini, Italia dan Eropa Selatan tetap menjadi destinasi utama kalangan elit Asia,” jelasnya.
Penandatanganan MoU
Sebagai penutup acara pembukaan, dilakukan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) antara International Society for Academic Catholicism (ISAC) dan Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng. Kesepakatan ini menandai komitmen bersama dalam mengembangkan riset akademik seputar pariwisata, iman, dan budaya di Asia.
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel