Akumulasi persoalan semakin menggunung. Terasa ada ketidakseimbangan dalam nikmati satu ‘proses demokrasi.’ Yang terpilih dalam suara proses demokrasi dianggap sungguh nikmati jalan hidupnya. Sementara yang memilih merasa sebatas berharap hanya pada ‘remah-remah yang (semoga) jatuh dari meja politik dan kekuasaan.’
Sebab itulah imbas kekecewaan dan kemarahan sering tak terhindarkan dalam alur demokrasi. Yang memilih dan merasa menentukan kekuasaan beralih dari alam kesetiaan menuju alam reaktif. Ujung-ujungnya ‘ya, terpaksa gigit jari.’ Mungkinkah ini terjadi akibat tumpukan ekspetasi yang tak tiba realisasinya?
Dalam pada itu, yang ada dalam arus kontra (oposan) nampak semakin menggila untuk membombardir kekuasaan kini. Di situ, terasa sudah ada celah untuk mengobrak-abrik wibawa kekuasaan. Perilaku politik atau imbas politik, tetaplah bersirkulasi ‘sebatas itu-itu saja.’
“Kami menang!” Itulah tesis yang jadi akar konsepsi dari “terbentuklah kekuasaan parsial. Saat kami sudah ‘ada dan punya orang dalam’ yang wajib benefit bagi kami.” Sebaliknya, jika merasa ‘tak diuntungkan’ maka itulah titik awal dari pil pahit anti kekuasaan yang mulai ditatap penuh sinis. Berujung kemarahan!
Distorsi demokrasi akan tetap berulang lima tahunan! Apa disebut ‘narsisme demokrasi’ memanglah kenyataan yang sudah mengakar dan menjalar! “Kami harus jadi penikmat kemenangan.” Irama demokrasi praktis hanyalah warna tunggal dari sirkulasi ekonomi politik ‘totum pro parte.’ Artinya?
“Kami telah merebut semua dan segala demi kepentingan kami.” Di sinilah, demokrasi ‘pars pro toto’ terancam bahkan bisa menjadi senyap. Kekuasaan tidak lagi dilihat dan ditafsir sebagai ‘pemberian diri dari sekelompok demi kepentingan publik yang lebih luas.’
Keadaan seperti ini, sebenarnya, tidak jauh dari tesis evolutif, yakni ‘yang kuatlah yang menang.’ Sebab itu, ‘menjadi kuat’ tetap jadi perjuangan tanpa henti. Dengan segala daya upaya dan strategi apapun. Sayangnya, demokrasi yang diimpikan dan seharusnya, bakal tak pernah teralami.
Akhirnya….
Demos tak pernah menang dan memimpin dengan teduh dan damai. Yang terjadi adalah segelintir orang atau kelompok yang telah lihai memperdayai demos. Dan di situ, privatisasi kekuasaan jadi tak menentu. Kita memang akan tetap seperti ini. Dan memang terus seperti ini.
Di jalanan tetap ada ribut-ribut. Nampak ada selalu pikiran yang sudah terbuka kepada ‘kesadaran.’ Sayangnya, di jalanan pula “pikiran itu,” mengadaptasi kata-kata Needleman, nampak “sudah terlalu terbuka sampai otakpun keluar.” Berceceran. Tempias sana-sini. Dalam kericuhan nan menggelegar pula. Entah sampai kapan? Yang jelas para bohir selalu siaga. “Mulai kasak-kusuk. Mengibaskan suasana panas.”

Verbo Dei Amorem Spiranti
Collegio san Pietro, Roma
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel



