Cepat, Lugas dan Berimbang
Berita  

Gendang One Lingko Pe’ang: Pesan Norma Persatuan Holistik Manusia dengan Alam

Oleh: Dr. Adrianus Marselus Nggoro, S.H., M.Pd★

infopertama.com – Tulisan ini untuk pemahaman kebudayaan Manggarai pada umumnya. Kajian ini, mungkin berguna dalam rangka pertimbangan kebijakan Geothermal di Flores, khusunya di Ulumbu (Poco Leok), Kecamatan Satarmese, Kabupaten Manggarai.

Dinamika perkembangan soal Geothermal di Flores, khusunya di Ulumbu (Poco Leok) soal wacana pencemaran dan hilangnya mata air, tanah longsor, gas beracun atau H2S, isu sosial dan lingkungan, isu HAM menuju pada soal status lokasi Geothermal sebagai tanah ulayat. Dinamika itu masih berkembang sampai saat ini sembari mempelajari kajian ilmiah yang komprehensif (holistik) tentang kebijakan Geothermal.

Berkaitan ini, membahas tentang tanah ulayat, maka perlu mempelajari pilar-pilar kebajikan tata ruang Manggarai yang memperlihatkan kesatuan holistik antara manusia sebagai pencipta kebudayaan dengan alamnya.

Ada satu filosofi fundamental sebagai norma persatuan holistik manusia dengan alam yaitu, “gendang one lingko pe’ang” (rumah di dalam, kebun di luar). Rumah sebagai tempat manusia untuk memulai aktifitasnya, dan kebun sebagai tempat manusia beraktifitas (bekerja). Mungkin filosofi ini dimaknai terlalu ekslusif bagi petani, dan mendikotomikan pekerjaan di kantor, di sekolah.

Dalam konteks sekarang, mungkin ada pertanyaan muncul, mengapa tidak menyebutkan juga gendang one kantor’n pe’ang (rumah di dalam, kantor di luar)?

A. Filosofi Gendang One Lingko Pe’ang

Pertama, ontologi. Pada hakikatnya acara konsep tata ruang budaya Manggarai, menghubungkan kesatuan geopolitik antara manusia dengan alamnya. Hal itu diimplementasikan dalam setiap mata rantai tradisi kebudayaan Manggarai. Ada sekian mata rantai tradisi kebudayaan yang mengungkapkan eksistensi kesatuan manusia dengan alamnya. (1) Pada waktu membuka kebun ulayat baru (lodok lingko/tente teno), maka harus adanya suatu kesatuan manusia tempat tinggal dan tempat bekerja. Tempat tinggal (rumah) sebagai roh atau rahim tempat star untuk mengadakan lodok lingko. Oleh karena itu, kepala kampung (tua golo) dan kepala pembagi tanah ulayat (tua teno) mengundang warga kampung (yang hendak menerima pembagian lodok lingko), berkumpul di rumah adat (mbaru gendang/mbaru tembong) dan pada saat itulah tua adat bersama warga kampung mengetahui bersama nama kebun ulayat (lingko) yang akan diadakan atau digarap tente teno (lodok lingko).

(2) Dalam ritual adat dan tradisi penti. Melalui torok penti yaitu barong lingko (mengadakan sesajian di kebun ulayat, ungkapan gendang one lingko pe’ang merupakan filosofi yang dinarasikan dalam sebuah tradisi adat Manggarai saat penti. Penti adalah sebuah syukuran. Barong compang (mengadakan sesajian di pohon beringin di tengah kampung dan mirip altar persembahan di tengah kampung). Sesajian ini juga mengingatkan peran pohon sebagai jantung sumber mata air (ulu wae).

Di samping itu juga adanya barong wae teku (sesajian di air pancuran untuk suatu warga kampung). Sesajian ini mengingatkan peran dalam kehidupan manusia. Acara syukuran ini (penti) memaknai eksistensi peranan kesatuan manusia dengan alamnya. Oleh karena itu penti selalu menegaskan dua hal utama syukuran manusia dan syukuran alam.

Berkaitan itu, adanya suatu go’et penti yakni penti weki peso beo (syukuran manusia dan syukuran kampung atau lam). Beo (gendang) merupakan pars prototo akan eksistensi alam). Manusia dan alam merupakan bagian dari konsep geopolitik dalam kebudayaan Manggarai. (3) Congko lokap Mbaru Gendang (tradisi membangun rumah adat Manggarai). Ritual adat pada acara congko lokap juga mengadakan barong lodok (sesajian di kebun ulayat), barong compang (sesajian di meja persembahan pada pohon beringin di tengah kampung) dan barong wae teku (sesajian di air pancuran untuk suatu warga kampung).

Jadi, secara ontologi filosofi gendang one lingko pe’ang menegaskan eksistensi sebuah kesatuan holistik masyarakat kampung dengan adanya suatu kebun ulayat. Kebun ulayat menegaskan eksistensi warga kampung dan warga kampung menguatkan keberadaan akan kebun ulayat.

Kedua, epistemologi. Secara epistemologi tradisi filosofi gendang one lingko pe’ang untuk memahami kesatuan holistik manusia dengan alamnya. Antara gendang dan kebun ulayat merupakan satu keatuan yang tak terpisahkan. Pemahaman filosofi ini dipelajari secara turun-temurun baik melalui pendekatan ilmiah (formal) maupun pendekatan alamiah (informal) agar dapat semakin terang benderang memberikan makna secara aksiologis (nilai kesatuan holistik manusia dengan alamnya) bagi kehidupan manusia, khususnya generasi muda Manggarai masa kini dan masa depan.

Berbagai pendekatan epistemologi untuk mendalami filosofi gendang one lingko pe’ang yaitu melalui pendekatan alamiah melalui acara ritual adat: tradisi penti dan congko lokap. Dalam pendekatan ilmiah (formal) makna filosofi gendang one lingko pe’ang dapat ditelusuri melalui literatur buku, artikel jurnal dan koran, serta kajian akademik mulai dari lembaga pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi.

Ketiga, aksiologi. Berbagai nilai humanis yang diharapkan tercapai dari tradisi filosofi gendang one lingko pe’ang adalah: nilai kesatuan holistik manusia dengan (kesatuan geopolitik), nilai peradaban lingkungan hidup (kelestarian), mencintai pekerjaan sebagai bagian dari implementasi HAM. Nilai peradaban kesatuan holistik manusia dengan alam: alam wajib menghidupi manusia, melindungi manusia, dan manusia wajib menjaga keutuhan ciptaan, manusia wajib melindungi alam, melestarikan alam.

B. Implementasi Tradisi Filosofi Gendang One Lingko Pe’ang

Berdasarkan hasil penelitian secara etnografi bahwa filosofi gendang one lingko pe’ang menegaskan beberapa pilar kesatuan manusia:

1. Pengakuan Warga kampung (gendang).

Pengakuan keberadaan sebuah kampung. Kebun ulayat sebagai saksi sejarah dan sekaligus bagian sejarah keberadaan sebuah kampung. Sebuah kampung harus mempunyai kebun ulayat. Kebun ulayat sebagai pengakuan hak hidup manusia manggarai. Dalam sejarahnya masyarakat Manggarai, hidupnya (ia dapat hidup) dari bercocok tanam. Oleh karena itu kebun ulayat adalah pertanda akan mempertahankan hak hidupnya.

Namun, dalam konteks dewasa ini untuk mempertahankan hidup masyarakat Manggarai tidak hanya bercocok tanam, tetapi multi bidang pekerjaan sesuai perkembangan peradaban budaya dan teknologi modern.

2. Sistem Kekerabatan patrilineal.

Sistem kekerabatan patrilineal (ase kae/wa’u), keturunan anak laki-laki yang menerima warisan pembagian tanah ulayat (sor moso). Anak laki-laki sebagai ahli waris orang tua. Karena itu yang berhak mendapat pembagian tanah ulayat (moso) adalah anak laki-laki. Anak laki-lakilah sebagai penjaga marga orang tua. Jika ada ritual adat di kampung, maka anak laki-laki yang melanjutkan ritual adat dan anak laki-laki juga sebagai tuan rumah pada setiap sub-sub klan dalam marga kampung.

Berdasarkan temuan penelitian, jika dalam keluarga hanya mempunyai anak perempuan (tidak mempunyai anak laki-laki), maka hak waris tanah lingko (moso) dalam keluarga ada disposisi penjaga marga, dipercayakan kepada saudara laki-laki ayah atau anak laki-laki dari saudara kandung ayah.

Dengan suatu kesepakatan bahwa orang tua yang tidak mempunyai anak laki-laki, berembuk bersama anak perempuan untuk mengangkat anak laki-laki dari saudara kandung sang ayah. Hak yang didapat dari anak laki-laki angkat: mendapat sebagian tanah lingko (moso) dan sebagiannya didapat oleh anak perempuan (anak yang disepakati setelah menikah tetap tinggal di Marga ayah).

Tugas anak laki-laki angkat adalah untuk menjaga marga dan melakukan ritual adat: penti, dll. Alasannya karena anak perempuan status kekerabatannya sebagai anak wina (berbeda hal ceki) tradisi (tabu).

3. Hak warisan tanah lingko (moso).

Meskipun tanah ulayat adalah hak komunal, namun di dalam hak komunal juga terdiri dari hak-hak privat yaitu berupa pembagian tanah moso yang didapat oleh warga kampung.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada sebagian warga yang telah mendapat tanah privat (moso), kemudian menjual atau menggadaikan tanah moso tanpa harus diintervensi oleh si pembagi tanah ulayat (tua teno). Alasannya tanah moso sudah menjadi hak penuh perorangan (hak privat).

4. Eksistensi Tua teno/tua golo sebagai saksi ahli tanah lingko (moso).

Meskipun sudah terbagi-bagi ke dalam hak-hak privat, namun peran tua teno pembagi tanah ulayat tetap diakui. Meskipun demikian, akan tua teno tidak punya hak mengklaim dan mengintervensi tanah moso setiap orang. Sebab tua teno juga memiliki hak privat di dalam lingko yaitu berupa moso (pembagian hak privat).

Oleh karena itu, hak tua teno secara ex oficio sebagai saksi ahli atas moso-moso dalam lingko dan juga sebagai saksi batas langsung lingko dengan lingko lainnya.

5. Eksistensi Gendang

Eksistensi gendang di sini lebih fokus pada pemahaman rumah adat. Rumah adat dapat dimaknai dua hal: pertama, sebagai rumah adat dalam melakukan ritual adat, khususnya ritual adat dengan lingko.

Hal ini nampak jelas dalam acara penti barong lingko (doa sesajian di lingko saat penti), barong compang (doa sesajian di compang di tengah kampung) dan barong wae teku (doa sesajian di tempat timba air). Rumah adat sebagai tempat musyawarah adat. Manajemen demokrasi lokal (local of democracy) terbangun di rumah adat.

Kedua, eksistensi gendang menegaskan peran rumah. Rumah adalah tempat manusia beristirahat, berimajinasi dan rumah sebagai roh tempat star manusia untuk pergi beraktifitas di luar rumah, sesuai bidang pekerjaannya (makna rumah kontemporer dewasa ini).

Jika tanah ulayat (lingko) mempunyai kekayaan bumi yang perlu dikelola dan diberdayakan secara teknologi modern melalui kegiatan geothermal untuk kesejahteraan hidup umat manusia, maka itu merupakan bagian dari penghayatan unsur kebudayaan yang universal.

Va Peursen menggarisbawahi tahap-tahap kebudayaan: tahap mistis, tahap ontologi dan tahap fungsional. Mungkin masa lampau tanah lingko hanya berfungsi untuk bercocok tanam (tahap mistis/tradional), maka di tahap fungsional (modern) mengolah lahan secara teknologi modern (geothermal) sesungguhnya itu merupakan perubahan kebudayan. Untuk itu, yang perlu dalam pengolahan tanah lingko harus diteliti dampak positif dan negatifnya, sehingga tidak menimbulkan risiko bagi manusia dan alamnya.

C. Perspektif Hukum dan HAM

Tradisi filosofi gendang one lingko pe’ang dalam kebudayaan Manggarai dapat dikaji dari perspektif hukum adat, hukum negara, HAM.

1. Perspektif Hukum adat.

Pertama, berdasarkan sistem kekerabatan, bahwa praktik tradisi filosofi gendang one lingko pe’ang memberikan makna legitimasi keberadaan sebuah kampung. Kebun ulayat sebagai saksi sejarah keberadaan sebuah kampung. Sebuah kampung harus mempunyai kebun ulayat. Kebun ulayat sebagai pengakuan hak hidup manusia manggarai.

Dalam sejarahnya masyarakat Manggarai hidupnya (ia dapat hidup) dari bercocok tanam. Oleh karena itu kebun ulayat adalah pertanda akan mempertahankan hak untuk mempertahankan hidupnya. Kedua, Sistem kekerabatan patrilineal (ase kae/wau), keturunan anak laki-laki yang menerima warisan pembagian tanah ulayat (sor moso). Anak laki-laki sebagai ahli waris orang tua. Karena itu yang berhak mendapat pembagian tanah ulayat (moso) adalah anak laki-laki. Anak laki-lakilah sebagai penjaga marga orang tua. Sistem kekerabatan yang dibangun dari pemaknaan filosofi gendang one lingko pe’ang patrilineal terbuka. Dalam arti bahwa untuk mendapatkan hak waris tanah lingko (moso), diberi kemungkinan untuk dibagikan kepada anak perempuan, jika dalam keluarga tidak mempunyai anak laki-laki.

Namun untuk mendapatkan hak waris tanah lingko (moso), hanya separuh dari tanah moso, sedangkan sebagiannya tanah moso diberikan kepada anak angkat laki-aki dari saudara kandung dari sang ayah, dengan kesepakatan bahwa anak laki-laki tersebut menjaga marga ayah angkat. Artinya tetap menjadi marga ayah angkat diakui dalam kekerabatan patrilineal (pengakuan dalam ritual-ritual adat).

Meskipun tanah ulayat adalah hak komunal, namun di dalam hak komunal juga terdiri dari hak-hak privat yaitu berupa pembagian setiap warga kampung pada tanah ulayat yaitu berupa tanah moso. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanah privat (moso) ada sebagian menjual belikan atau menggadaikan tanah moso tanpa harus diintervensi oleh si tua adat (tua teno).

Alasannya, tanah moso sudah menjadi hak penuh perorangan (hak privat). Meskipun sudah terbagi-bagi ke dalam hak-hak privat, namun nama tua teno pembagi tanah ulayat tetap diakui. Meskipun demikian, akan tua teno tidak punya hak mengklaim tanah privat (moso) untuk mengintervensi nak moso setiap orang. Sebab tua juga memiliki hak privat di dalam lingko yaitu berupa moso (pembagian hak privat). Oleh karena itu, hak tua teno secara ex oficio sebagai saksi ahli atas moso-moso dalam lingko dan juga sebagai saksi batas langsung lingko dengan lingko lainnya.

Kedua Sifat hukum adat. Tradisi filosofi gendang one lingko pe’ang di Manggarai menampilkan nilai-nilai kesatuan holistik yang geopolitis: (1), Nilai Kekeluargaan. Sifat hukum adat Manggarai mengedepankan dan mengutamakan hukum adat kekeluargaan. Adapun nilai kekeluargaan itu mengutamakan hukum adat lisan dengan filosofi ipo one ciku neka lait kole (membuang ludah di siku tangan jangan menjilat kembali) atau ipo one wancang neka lait kole (membuang ludah di lantai bambu jangan menjilat kembali). Implementasi filosofi seruan norma ipo one ciku neka lait kole, dalam konteks tradisi filosofi gendang one lingko pe’ang (dalam hubungan kesatuan gendang dan lingko), menunjukkan bahwa yang sudah diwariskan oleh leluhur dipatuhi dan dilestarikan oleh generasi selanjutnya.

Misalnya, jika seseorang dipilih oleh warga kampung untuk memegang jabatan sebagai tua teno pada suatu tanah ulayat (lingko), maka dialah sebagai tua teno untuk selamanya dan dapat diwariskan kepada salah seorang anak laki-laki kandung untuk sebagai ahli waris tua teno tanah ulayat tersebut. Dan selanjutnya, jika tua teno telah membagi tanah ulayat menjadi bagian-bagian moso di tanah lingko, maka hak privat adalah masing-masing pribadi yang mendapat pembagian tanah untuk dimiliki secara turun-temurun. Jadi, tanah moso adalah hak privat dari si penerima tanah moso. Si penerima tanah berbentuk moso dapat mewariskannya dan dapat dijualbelikan. Dalam konteks ini, hukum adat Manggarai, meskipun bersifat lisan, namun kekuatan norma hukum adat sangat kuat dan memiliki sanksi yang sangat keras. (ipo wa wancang, neka lait kole=ludah di lantai bambu, jangan dijilat kembali). Nilai hukum adat ini juga relevan dengan kekuatan hukum positif. Jadi, hukum adat menghargai hak privat.

(2). Nilai Kebersamaan. Sifat hukum adat Manggarai adalah kebersamaan (communal). Istilah communal dalam pemahaman umum tentang hukum adat (adat rech), relevan dengan hukum adat Manggarai. Setiap mengadakan acara adat selalu dilandasi oleh adanya kebersamaan antara lain: dalam acara syukuran (penti). Sebelum orang Manggarai melakukan suatu tradisi, maka terlebih dahulu mengadakan musyawarah di rumah adat (mbaru gendang). Hukum adat musyawarah bersama ini disebut lonto leok (duduk bersama). Dalam kaitan filosofi gendang one lingko pe’ang, sangat relevan dengan hukum adat communal. Gendang dan lingko simbol hukum communal.

(3). Bersifat Kontan (tunai/tuntas dan konkrit). Hukum adat Manggarai bersifat kontan ipo wa wancang neka lait kole (ludah yang sudah buang di lantai bambu jangan dijilat lagi). Artinya, hubungan hukum yang sudah dibuat jangan dibatalkan kembali. Karena sudah dianggap sah secara hukum adat. Contoh hukum adat bersifat konrit yang berkaitan dengan tradisi filosofi gendang one lingko pe’ang, yakni misalnya pada waktu mengadakan lodok lingko (membagi tanah ulayat), maka harus dipraktikan tuntas dan konkrit. Ketika tua teno membagi tanah ulayat, maka saat itulah legitimasi hukum berlaku. Saat itulah tanah-tanah moso dalam lingko sudah sah dimiliki oleh setiap orang yang mendapat pembagian moso. Si penerima moso juga harus patuh dan bertanggung jawab pada kesepakatan adat dalam gendang (kampung).

(4), Bersifat Nyata. Hukum adat Manggarai yang bersifat nyata/riil. Contohnya: pilar-pilar kesatuan holistik masyarakat secara nyata dialami masyarakat Manggarai, yaitu: gendang (rumah adat), lingko (tanah ulayat), warga yang mendiami suatu kampung (gendang).

2. Perspektif Hukum Tata Negara dan HAM

Pertama, locus dan tempus. Dalam hukum administrasi negara, locus mengacu pada tempat tindakan administrasi dilakukan atau tempat yang terkait dengan tindakan tersebut. Sedangkan, tempus merujuk pada waktu pelaksanaan tindakan administrasi tersebut. Keduanya penting karena menentukan kompetensi pengadilan dan validitas penegakan hukum.

Locus berkaitan dengan lokasi geografis di mana tindakan administrasi dilakukan atau memiliki dampak. Ini menentukan di mana suatu tindakan administrasi dapat diadili dan kewenangan pengadilan yang bersangkutan. Misalnya, jika sebuah izin pembangunan diterbitkan oleh pemerintah daerah, locusnya adalah wilayah pemerintah daerah tersebut. Tempus berkaitan dengan waktu pelaksanaan atau kejadian tindakan administrasi. Ini penting untuk menentukan apakah tindakan administrasi tersebut masih dalam batas waktu yang sah, misalnya dalam hal daluarsa atau kewenangan negara untuk melakukan penuntutan. Selain itu, tempus juga penting untuk memastikan bahwa tindakan administrasi tersebut dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat itu (asas legalitas).

Berkaitan konsep tempus dalam hukum administrasi negara, relevan dengan konsep pilar tata ruang kebudayaan Manggarai (gendang, compang, wae teku, lingko) yang menampilkan wajah kesatuan holistik kebudayaan Manggarai untuk mengikat manusia dan alamnya, membangun hubungan serasi, selaras, bersahabat dan menghidupkan. Manusia melestarikan alam, dan alam menghidupi manusia. Pemahaman Tempus dalam hukum tata negara adalah berkaitan dengan waktu pelaksanaan atau kejadian tindakan administrasi. Ini penting untuk menentukan apakah tindakan administrasi tersebut masih dalam batas waktu yang sah, misalnya dalam hal daluarsa atau kewenangan negara untuk melakukan penuntutan. 

Selain itu, tempus juga penting untuk memastikan bahwa tindakan administrasi tersebut dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat itu (asas legalitas). Berkaitan dengan pemahaman tempus dalam hukum administrasi negara relevan dengan pemahaman konsep tata ruang budaya Manggarai di bawah payung filosofi kebudayaan, gendang one lingko pe’ang.

Dari segi tempus bahwa keberadaan gendang adalah berkaitan dengan sejarah keberadaan lingko (tanah ulayat) melalui rentetan sejarah perjalanan waktu kebudayaan yang panjang (history of culture). Jadi, antara gendang dan lingko merupakan suatu rentena realitas sejarah (locus) dan dalam dimensi waktu (tempus).

Kedua, Tradisi gendang one lingko pe’ang sebuah filosofi kesatuan holistik dalam kebudayaan Manggarai, adalah sebuah warisan leluhur yang bernilai tinggi karena mendukung amanah Konstitusi RI. Dalam Pembukaan UUD 1945, alinea 4 dirumuskan bahwa tujuan nasional bidang ekonomi yakni “memajukan kesejahteraan umum”. Pasal 28 UUD 1945 mengatur tentang hak asasi manusia (HAM), yang mencakup hak untuk bekerja dan mendapat imbalan yang adil. Pasal 28D menyebutkan setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta diperlakukan sama di hadapan hukum. 

Pasal ini juga menjamin hak untuk bekerja dan mendapat imbalan yang layak. Makna Pasal 28D UUD 1945 adalah setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta diperlakukan sama di hadapan hukum. Kemudian, setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja atau sederhananya.

Dalam konteks ini manusia Manggarai menyadari akan hak hidup mendapatkan pekerjaan yaitu bercocok tanam. Untuk bercocok tanam, harus memiliki tanah (lingko). Juga dalam pasal 28 membahas tentang hak untuk memperoleh pekerjaan (kerja kebun), untuk itu, harus mempunyai lingko. Tanah ulayat (lingko) juga menghargai hak privat yang mendapat pembagian dari tanah lingko tersebut yakni dalam bentuk (moso).

Dan fakta sosiologis dan cultural tanah moso yang telah menjadi hak privat, dapat diwariskan dan diperjualbelikan. Hal seperti ini memperlihatkan hukum adat Manggarai juga menghargai hak privat dan berujung pada hak hidup seseorang dengan menggadaikan tanah moso. Meskipun setiap orang mempunyai hak atas tanah moso, namun memperhatikan hak komunal, dalam arti bahwa jangan menggarap moso semena-mena tanpa memperhatikan lingko pada umumnya. Karena secara lingko, tanah itu lebih luas dan berdampak pada risiko dampak lingkungan hidup.

Masyarakat warga gendang, dari sudut hak komunal bertanggung jawab menjaga kelestarian lingkungan terhadap pengelolaan lingko. Hal itu sangat relevan dengan ketentuan hukum lingkungan. Hukum lingkungan terkait dampak geothermal diatur oleh Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi. Undang-undang ini mengatur berbagai aspek, termasuk izin lingkungan dan perlindungan terhadap dampak negatif eksplorasi panas bumi. Dampak lingkungan utama yang diatur meliputi pencemaran udara, air, dan tanah, serta perubahan kondisi geologi akibat pengeboran. Jika pengelolaan tidak profesional, maka berdampak langsung pada gendang di sekitar lingko. Jadi, hak privat juga menghargai seruan hak komunal warga gendang.

Antara lingko yang satu dengan yang lain saling terhubung dan menjaga kelestarian alam. Karena itu juga mau tidak mau antara gendang yang satu dengan gendang yang lain saling terhubung dan bekerja sama menjaga kelestarian lingkungan hidup. Jadi, hak komunal gendang yang satu, antara lingko yang satu dengan gendang dan lingko yang lain saling bertanggung jawab menjaga kelestarian lingkungan hidup.

Hak Asasi Manusia (HAM) dalam pekerjaan meliputi berbagai hak yang menjamin perlakuan adil, layak, dan aman bagi pekerja. Hak-hak ini meliputi jaminan pekerjaan, upah yang layak, kondisi kerja yang aman, hak untuk berorganisasi, dan perlindungan dari diskriminasi dan eksploitasi.

Jika jika tanah ulayat (lingko) mempunyai kekayaan bumi yang perlu dikelola dan diberdayakan secara teknologi modern melalui kegiatan geothermal untuk kesejahteraan hidup umat manusia, maka itu merupakan bagian dari penghayatan unsur kebudayaan yang universal. Va Peursen menggarisbawahi tahap-tahap kebudayaan: tahap mistis, tahap ontologi dan tahap fungsional. Mungkin masa lampau tanah lingko hanya berfungsi untuk bercocok tanam (tahap mistis/tradional), maka di tahap fungsional (modern) mengolah lahan secara teknologi modern (geothermal) sesungguhnya itu merupakan perubahan kebudayan. Untuk itu, yang perlu dalam pengolahan tanah lingko harus harus diteliti dampak positif dan negatifnya, sehingga tidak menimbulkan risiko bagi manusia dan alamnya.

D. Pesan Sekilas untuk Geothermal Ulumbu (Poco Leok)

1. Perubahan Peradaban Kebudayaan Untuk Kesejahteraan Manusia

Jika tanah ulayat (lingko) mempunyai kekayaan bumi yang perlu dikelola dan diberdayakan secara teknologi modern melalui kegiatan geothermal untuk kesejahteraan hidup umat manusia, maka itu merupakan bagian dari penghayatan unsur kebudayaan yang universal. Va Peursen menggarisbawahi tahap-tahap kebudayaan: tahap mistis, tahap ontologi dan tahap fungsional. Mungkin masa lampau tanah lingko hanya berfungsi untuk bercocok tanam (tahap mistis/tradional), maka di tahap fungsional (modern) tanah lingko dikelolah secara teknologi modern (geothermal). Peradaban perubahan kebudayaan seperti itu untuk kesejahteraan hidup manusia.

Untuk itu, yang perlu dipertimbangkan adalah harus terlebih dahulu melakukan studi kelayakan perubahan pengolahan lahan (tanah ulayat) tidak menimbulkan dampak buruk dan berisiko pada manusia dan alamnya.

2. Refleksi untuk Kebijakan Geothermal Ulumbu (Poco Leok)

Berkaitan konsep locus dalam hukum administrasi negara, relevan dengan konsep pilar tata ruang kebudayaan Manggarai (gendang, compang, wae teku, lingko) yang menampilkan wajah kesatuan holistik kebudayaan Manggarai untuk mengikat manusia dan alamnya, membangun hubungan serasi, selaras, bersahabat dan menghidupkan. Manusia melestarikan alam, dan alam menghidupi manusia. Dari sudut locus dan tempus Ulumbu ada dalam korelasi dengan gendang-gendang sekitarnya.

Dari sudut geopoitik, Ulumbu memiliki potensi energi panas bumi secara alamiah bereaksi secara berabad-abad dirasakan masih eksis sampai saat ini, dan tidak ada dampak buruk bagi manusia dan alam sekitarnya. Ulumbu selalu berhubungan dengan gendang-gendang (warga kampung). Dari sudut geologi, topografi Ulumbu berada di dataran (bukit) dan masih jauh dari ketinggian gunung sekitarnya sebagai sumber mata air yang utama, misalnya golo Lusang. Keberadaan Ulumbu yang selama ini tidak berdampak pada macetnya sumber mata air di pegunungan yang lebih tinggi, karena keberadaan Ulumbu di dataran rendah (lereng/bukit).

Berkaitan dengan pemahaman tempus dalam hukum administrasi negara relevan dengan pemahaman konsep tata ruang budaya Manggarai di bawah payung filosofi kebudayaan, gendang one lingko pe’ang. Dari segi tempus bahwa keberadaan gendang-gendang adalah berkaitan dengan waktu perjalanan sejarah keberadaan lingko (tanah ulayat) yang termasuk di dalamnya adalah lokasi Ulumbu.

★Adrianus Marselus Nggoro adalah Dosen Unika Santu Paulus Ruteng; Anggota Asosiasi Profesor Doktor Hukum Indonesia; Alumnus Program Doktor Hukum Undip dengan mendalami kajian Hukum Adat dan Budayawan.

Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel