daerah  

Damai, Solusi Bijak Kasus Penganiayaan di Sirimese

Pengukuhan Rohani

Ujud atau permohonan melalui tudak manuk tersebut selanjutnya sempurnakan melalui pengukuhan rohani oleh Pastor Paroki Tentang, Pater Andreas Bisa, OFM selaku tokoh agama yang turut hadir dalam acara tersebut.

Dalam pengukuhannya, Pater Andre mengatakan bahwa acara perdamaian tersebut merupakan wujud kesadaran masing-masing pihak bahwa dirinya adalah masyarakat berbudaya.

“Dengan perdamaian ini, semuanya diperbaharui, saling memaafkan dengan lapang dada, saling menerima dan mengakui kekeliruan,” ucapnya.

Perdamaian ini, lanjut Pater Andre, tidak hanya sekedar ritual seremonial, tidak hanya sekedar ungkapan di mulut “pecing le ceki, tura le wura (diketahui dan disaksikan leluhur).” Namun rumah adat yang sakral telah menjadi saksi perdamaian itu, maka hendaknya lakukan dengan sungguh-sungguh.

“Semesta telah turut menyaksikan perdamaian ini, sehingga kita tidak hanya sekedar manis di bibir, lain di hati”, tegasnya.

Ia menambahkan, perdamaian secara adat adalah wujud penemuan hikmat, menunjukan kearifan lokal Manggarai dalam permenungan kepada ceki (leluhur).

“Dalam ungkapan Manggarai kita mengatakan Nai Ca Anggit Tuka Ca leleng, ite ca ame neka woleng tae, ite ca panga neka woleng bantang. Ini dan di sini telah kita lakukan dan temukan; (Ungkapan Manggarai tentang persatuan dan kesatuan yang berarti setiap orang harus saling bersatu dan tidak boleh berbeda pendapat. Ungkapan ini biasa gunakan pada ritus-ritus adat untuk menyampaikan pesan persatuan kepada khalayak umum),” jelasnya.

Di akhir penyampaianya, Pater Andre mengingatkan agar tidak lagi menengok apa yang terjadi pada masa lalu. Tetapi hendaknya belajar pada masa lalu untuk perbaikan ke depan.

Proses pelaksanaan acara itu, akhiri dengan “berkat” secara katholik oleh Pater Andre sebagai simbol pengukuhan perdamaian tersebut.

Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel