Ruteng, infopertama.com – Bupati Manggarai, Heribertus G.L Nabit menyampaikan Pidatonya dalam ekaristi Kudus pelepasan Jenazah Uskup Emeritus Mgr Hubertus Leteng, Pr di Gereja Katedral Ruteng, Rabu, (03/08/2022).
Sederhana dan Diam: Jalan Pemanusiaan Menuju Surga
Di hadapan YM Uskup Ruteng Mgr Siprianus seluruh sidang perkabungan: uskup emeritus Mgr Mikhael, para imam, suster, biarawan, biarawati, umat katolik keuskupan Ruteng, di katedral ini dan di mana pun berada!
Dan yang terkasih Mgr Hubertus Leteng, Uskup Emeritus Keuskupan Ruteng.
Kepergian Mgr Hubertus Leteng yang mendadak adalah kritik bagi kami bahwa hidup ini sesungguhnya harus jalani dengan Sederhana dan Diam.
Kritik Pertama: Diam
Diam-diam, ia pergi dalam sunyi, di hari Minggu pagi, ketika kita-kita yang lain bersiap-siap ke gereja untuk memuliakan nama Tuhan. Memang ia sedikit gelisah pada jam 4 pagi, begitu yang saya dengar dari testimoni para frater Keuskupan Bandung, yang menjaganya malam itu. Tapi dua jam kemudian, kegelisahannya terhenti dan ganti dengan ketentraman Mori Keraeng Empa Pu’un Kuasa.
Betapa Tuhan memilihkan saat terbaik untuk memanggil kekasih-Nya, Mgr Hubertus Leteng. Saya tidak heran karena memang demikianlah Tuhan bertindak bagi hamba-Nya, yang diam.
Dia diam, karena tidak pernah terdengar nada protes dan mengeluh sedikitpun dari mulutnya.
Dari cerita teman-teman dan adik kelasnya di Kisol sampai Seminari Tinggi Ritapiret, mungkin bisa perbanyak dengan kesaksian romo-romo di Pastoran Katolik Garut atau di Keuskupan Bandung, Mgr Huber ini seorang devosi kuat Bunda Maria. Sembahyang kontas Rosario tiap hari paling kurang lima peristiwa, dari dulu sejak tahun 1974, dan saya yakin hingga kematiannya hari Minggu lalu.
Akhirnya saya paham! Diam-nya Mgr Huber adalah diam-nya Bunda Maria. Menyimpan segala sesuatu di dalam hati, tanpa banyak bertanya-tanya dan berkata-kata, sambil membingkai segala peristiwa hidupnya dalam kehendak Allah, Voluntas Dei dan mengolah semua itu menjadi energi jiwa.

Bagi saya, diam-nya Mgr Hubert bukan karena dia tidak mau omong tetapi sebuah sikap dasar yang sengaja Ia pilih. Dan itulah yang terjadi dalam perjumpaan saya secara pribadi meski singkat dengannya. Diam-nya adalah mendengarkan dan menyimak. Bicaranya terukur dan perlu-perlu saja. Maka diam-nya ini membuat saya dan siapapun yang berkontak dengannya, selalu merasa at home dan akhrab.
Dengan diam-nya ini, akhirnya sedikit membantu saya memahami bagaimana dia mengelola beberapa kenyataan yang menurut kacamata saya sebagai orang awam, kontroversial.
Kehadirannya di Keuskupan Ruteng sebagai gembala agung mulai dengan sorak-sorai gegap gempita sukacita, lagu dan tari. Langit-langit congkasae ikut bermadah dari Wae Mokel sampai Selat Sape.
Tak lama sesudahnya, tepatnya lima tahun lalu, dia harus pergi dari sini, dalam sunyi, sendiri. Ke tanah asing yang hanya dia yang tahu. Gemuruh kata dan suara sumbang tanpa pernah ia tantang. Badai mengguncang tanpa pernah ia mengelak. Dia menerima dalam DIAM.
Akhirnya memang karena Diam-lah, semua itu diolahnya menjadi energi jiwa. Maka, semua kadar derita dan sakit yang ia alami dan takaran jenis kesengsaraan yang menimpanya, khalayak ramai tidak perlu mengetahui atau turut menghayatinya. Mgr Hubert bahagia di dalam anugerah kemuliaan yang ia terima dalam rahasia.
Kritik Kedua: Sederhana
Ini yang paling gambang dan kasat mata. Sederhana. Bukan hanya apa yang ia kenakan yang rapih tapi seluruh gesture, bahasa tubuhnya adalah kesederhanaan. Tidak wah! Tidak megah! Jauh dari kesan mewah.
Bahasa yang teratur, sopan santun, senyumnya, gaya bicara yang membuat partner bicara serasa duduk sama rendah berdiri sama tinggi, yang memperlakukan lawan bicara sebagai saudara dan seluruh bahasa tubuhnya, semua itu adalah kesederhanaan.
Mengapa ia begitu sederhana? Dia seorang doktor teologi, hampir seluruh hidupnya habiskan di lembaga pendidikan, yang berarti dia berwatak ilmiah. Tapi mengapa ia sederhana? Akhirnya saya paham dari motto tahbisan uskupnya: “Kamu semua adalah saudara.”
Memang begitulah. Menjadi saudara bagi sesama, lingkungan dan alam, membutuhkan sebuah kerendahan hati. Dan ini tampak pada Mgr Huber. Di awal-awal masa episkopalnya, dia giat menanam pohon dan menggalakkan pastoral ekologis, misa di Sirise, daerah pertambangan, dan sebagainya.
Maka bagi saya, komplitlah kesederhanaan Mgr Huber: lahiriah dan rohaniah! Dan inilah ideal kehidupan seorang beriman. Dalam kesederhaan, hidup manusia memang menjadi tua dan redup tapi mencintai dan berbagi adalah kewajiban pemanusiaan sepanjang-panjang perjalanannya.
Dalam kesederhanaan, yang terjadi ialah berpikirlah efisien. Janganlah menghabiskan tenaga dan waktu untuk kesementaran, melainkan untuk keabadian. Janganlah pula menumpahkan profesionalisme untuk menggapai uang, harta, rumah besar, nama besar dan sebagainya, yang toh tidak akan menyertaimu selama-lamanya.
Maka kebahagiaan untuk seorang manusia sederhana ialah menjadi saudara yang merangkum sebanyak mungkin orang. Bahwa yang dimaksud keluarga bukanlah sebatas sanak famili dan koneksi, melainkan meluas ke sebanyak mungkin saudara-saudara sesama manusia.
Semua Ini Telah Ia Lakukan Hingga Akhir Hayatnya!
Akhirnya, apa yang tinggal? Bagi saya sebagai seorang beriman, dengan spirit sederhana dan diam dalam hidup, maka apa yang selalu diyakini adalah, “Tidak ada santo atau santa tanpa masa malu yang kelam. Dan tidak ada pendosa tanpa masa depan.”
Dengan kata lain, “Setiap orang kudus selalu memiliki masa silam yang gelap dan setiap pendosa selalu memiliki masa depan.”
Frase yang saya sebutkan ini, telah saya ubah sedikit. Aslinya adalah ucapan dari Oscar Wilde, novelis dan penyair Irlandia, yang berkata: “Every saint has a past, and every sinner has a future.”
Maka, dengan keyakinan yang sama dan dengan air mata terurai, kami melepasmu pergi, Mgr Hubertus Leteng. Tapi engkau tidak mati. Engkau abadi di hati kami. Untuk kasih-sayang-mu bagi tana dading Manggarai, saya mengucapkan: Terimakasih Berlimpah!
Begitu indahnya jalan hidup yang engkau tinggalkan, maka atas nama rakyat Kabupaten Manggarai, yang adalah saudara dan saudarimu, saya memohon doamu agar kami dikuatkan untuk membuktikan bahwa sesungguhnya sikap sederhana dan diam adalah jalan pemanusiaan menuju surga!
Bapa, saudara dan uskup kami Mgr Hubertus Leteng, Sampai Jumpa di Tanah Keabadian!
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp ChanelÂ
Â