Oleh: Fr. Febrian Mulyadi Angsemin, S. Fil.*
Kekerasan pada anak, kerap kali terjadi antara guru dan anak sekolah. Kekerasan pada anak, sejatinya untuk mendisiplinkan anak yang dipandang melanggar aturan, bukan untuk menghukum. Namun hal ini masih ada segelintir orang kurang memahami perbedaan antara tindakan kedisiplinan dengan memberi hukuman. Sebab itu guru akan terjebak pada tindak kekerasan yang bertolak belakang dengan kaidah pendidikan.
Terkait dengan tindakan pendisiplinan yang dapat guru lakukan misalnya, menjewer, mencubit, dan memukul. Tindakan seperti itu ada sebagian masyarakat yang membenarkan bahkan Mahkamah Agung (MA) membolehkan tindakan itu dengan menerbitkan yurisprudensi.
Adapun pihak lain yang menyetujui tindakan kekerasan dengan membandingkan pada zaman dulu. Misalnya, “Pada zaman yang tergolong primitif sekolah-sekolah mendidik anak dengan cara kekerasan seperti ditempeleng, dipukul, dan disuruh berlutut sampai berjam-jam. Para murid pun tidak melakukan perlawanan atas perbuatan guru, demikian para orang tua murid sangat mendukung apabila guru bertindak demikian.
Pemerintah pada saat itu masih sangat otoriter dan represif, sehingga wajar jika mendidik anak dengan cara kekerasan. Dan, menganggap tindakan kekerasan itu bagian dari pendidikan agar anak membentuk anak didik menjadi anak yang berkarakter baik.
Di zaman kontemporer ini dunia sudah berubah sekian puluh derajat, pola pikir manusia terus berkembang. Bahkan arus informasi pun sangat mendukung karena tak mungkin membendung lagi teknologi. Rezim pemerintahan di banyak negara telah berubah, dari otoriter ke demokratis, termasuk pemerintahan di Indonesia.
Dengan perubahan-perubahan semacam itu sehingga tidak memungkinkan lagi untuk terus menggunakan cara-cara lama (aut of date) sebagai metode. Termasuk, metode untuk mendisiplinkan anak menggunakan kekerasan.
Guru sebagai profesi dalam mendisiplinkan anak didik tentu mempunyai acuan. Salah satu acuan bagi guru dalam mendisiplinkan anak didik yaitu Peraturan Pemerintah No. 74 tahun 2008. Pasal 39 Ayat (1) tentang guru memiliki kebebasan untuk memberikan sanksi kepada anak didik yang melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang ditetapkan guru, peraturan tingkat satuan pendidikan. Dan, peraturan perundang-undangan dalam proses pembelajaran yang berada di bawah kewenangannya. Kemudian bentuk sanksi yang tertera dalam Ayat (2) dapat berupa teguran atau peringatan, baik lisan maupun tulisan. Serta, hukuman yang bersifat mendidik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan.
Sangat jelas bahwa pasal 39 Ayat (1) di atas terdapat frasa kebebasan. Frasa kebebasan ini multi tafsir, dapat memungkinkan setiap guru mempunyai penafsiran yang berbeda yang mengarah pada terjadinya kekerasan. Karena itu, dalam pelaksanaan sanksi tersebut harus memperhatikan mekanisme yang telah atur dalam Ayat (1), agar dalam mendisiplinkan anak didik tidak melampaui kewenangan yang berpotensi terjadinya pelanggaran HAM.
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel